Saturday, December 6, 2014

Closure

When you left a relationship, always aim for a clean break.
Avoid open wound, since each and every human being worth a closure. A proper one.

Dalam salah satu artikel yang saya baca, saat saya mencari informasi tentang pentingnya closure bagi manusia, saya menemukan bahwa secara alami otak manusia akan mencari penjelasan untuk segala hal yang terjadi dalam hidup mereka. Sebagai contoh, saat kita melihat empat buah titik di atas sebuah bidang, masing-masing ditempatkan di kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kanan atas, secara otomatis otak kita akan menggambar bentuk segi empat, padahal empat buah titik tadi sebenarnya bisa membentuk apa saja. Itu adalah usaha otak kita untuk memberikan closure dan menutup jarak antara ketidaktahuan kita dengan fenomena yang terjadi.

Maaf jika penjelasan di atas membuat kening berkerut, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut, kok. Pembahasan mengenai closure di atas sesungguhnya dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa hal yang sama juga terjadi dalam sebuah hubungan antar manusia. Saat hubungan berakhir, patah hati terjadi, maka tanpa disadari dua manusia yang terlibat dalam hubungan tadi akan mencari penjelasan penutup (closure) untuk membantu mereka benar-benar menyadari dan menerima bahwa hubungan telah berakhir. Biasanya yang paling membutuhkan adalah pihak yang ditinggalkan, dan yang "berkewajiban" untuk memberikan adalah yang meninggalkan.

Kabar buruknya, tidak semua hubungan yang berakhir menghasilkan closure yang memuaskan, lebih buruk lagi, bahkan banyak juga hubungan yang tidak mendapatkan closure sama sekali. Lantas jika ini terjadi, apa yang akan otak lakukan? Otak tidak akan menyerah, sudah menjadi tugasnya untuk mencari penjelasan demi menutup jarak antara ketidaktahuan dengan realita yang terjadi di depan mata. Akhirnya, lahirlah over think dan over analyze yang mana sesungguhnya teramat menyiksa dan bisa berakibat buruk pada psikologis seseorang. Tidak sedikit yang akhirnya menimbulkan depresi berat.

Baru saja, saya selesai menonton film Her, yang menceritakan hubungan seorang laki-laki yang patah hati akibat perceraian dengan sang istri, kemudian berkenalan dan menjalin hubungan dengan Artificial Intelligent Operating System. Terdengar geeky dan aneh memang, tapi ini sebenarnya film drama. Alasan saya menyinggung film ini adalah, saya menemukan sebuah contoh closure, yang menurut saya indah, tulus, dan - walaupun mungkin tidak bisa meredakan pedihnya patah hati - cukup bisa membuat lawan bicaranya dihargai.

Sebuah surat yang ditulis oleh sang pemeran utama kepada mantan istrinya:

Dear Catherine,  
I've been sitting here thinking about all the things I wanted to apologize to you for.  
All the pain we caused each other. Everything I put on you. Everything I needed you to be or needed you to say. I'm sorry for that.  
I'll always love you, cause we grew up together and you helped make me who I am.  
I just wanted you to know there will be a piece of you in me always, and I'm grateful for that. Whatever someone you become, and wherever you are in the world, I'm sending you love. You're my friend to the end. 
Love, 
Theodore.

Bagaimanapun akhir sebuah hubungan, hampir dipastikan akan menyisakan luka. Sebuah akhir (closure) yang baik setidaknya dapat meringankan beban rasa dan pikiran. Sebuah bentuk penghargaan untuk kisah yang pernah tertulis sebelumnya. Cinta atau tidak lagi cinta bukanlah alasan untuk tidak menghargai perasaan orang lain. Closure yang baik pun menghindarkan dari resiko depresi dan segala akibat yang ditimbulkannya.

Ada yang sedang merencanakan mengakhiri sebuah hubungan mungkin? Remember to always aim for a clean break, berikan "hadiah" terakhir yang baik, closure.