Monday, October 12, 2015

She

One thing that I can never stop noticing from her is how easy she became excited about everything, even the smallest things that come in her way. The things that for me, and maybe for most people, look so ordinary and even dreary.

I asked her once about this, and the answer was struck me in the heart, up until now. With a smile in her face, she said;

"Nothing's last forever. Good things don't last forever, nor bad things. I easily excited about things because I want to embrace anything that has, is, and will happen. I always believe that even the things that you think is so ordinary has potential to make you happy, try to see it in different way."

This girl will never stops captivating me. Just being around her is making me comfortable. I really hope she'll find eternal happiness in life, as she is a sweet little creature with a big heart.

Wednesday, September 30, 2015

Cinta Itu Apa?

Tangan kecilmu menggandeng tanganku. Kemudian wajah polosmu menengadah menatapku sembari bertanya, "Ibu, cinta itu apa?"

Aku menghentikan langkahku dengan setengah terkejut. Kutatap balik wajah mungilmu sembari mengulas senyum. Aku berjongkok di depanmu, agar wajahmu dan wajahku saling berhadapan. Aku balik bertanya, "Saat ada ibu di dekatmu, apa yang kau rasakan?".

"Mmmm, senang. Tidak takut. Mau dipeluk terus," jawabmu, yang kemudian kubalas dengan senyum lagi. 

"Kalau ibu tak ada di dekatmu?", tanyaku lagi.

"Jangaaaan! Ibu mau ke mana? Ibu tak boleh pergi. Aku takut," jawabmu setengah merengek dengan bibir mengkerut menahan tangis. 

Kubelai rambutmu dan kutanya lagi, "Kalau ibu sedih atau menangis, apa yang akan kamu lakukan?".

"Aku akan peluk ibu dan bilang, 'ibu jangan sedih, ada aku menemanimu'," jawabmu dengan senyum ceria.

Tak kuat aku menahan senyum terkembang. Ku usap pipimu dan bertanya lagi, "Kalau ada yang jahat pada ibu, apa yang akan kau lakukan?".

"Aku marahi dia. Aku pukul dia. Aku tendang kakinya," jawabmu berapi-api sembari mengepalkan jemari kecilmu dan mengacungkannya ke depan.

"Kalau ibu sakit?", tanyaku lagi.

"Aku sedih. Aku akan bawa ibu ke dokter. Lalu aku berdoa pada Allah, 'Ya Allah, sembuhkan ibuku, buang penyakitnya, karena aku mau lihat ibu tersenyum lagi'," ujarmu sembari menengadah memeragakan orang yang sedang berdoa. 

"Itulah cinta. Kau senang saat bersamanya, takut kehilangan, merindu saat jauh, menghibur saat sedih, membela tanpa pamrih, dan yang paling luar biasa, menyebut namanya dalam doa, " ujarku sembari membelai rambutmu. Matamu mengerjap lucu.

"Aku cinta ibu. Ibu cinta aku?," tanyamu.

"Cinta ibu untukmu sudah ada bahkan sebelum kau ada. Cinta ibu untukmu akan mengajarkanmu untuk mencinta juga. Cinta ibu untukmu bisa memindahkan gunung, saking kuatnya. Menarik bulan, saking rekatnya. Mencipta pelangi, saking indahnya," kataku lagi.

"Itu pasti artinya, ibu cintaaaaaa sekali sama aku," ujarmu girang kemudian memelukku erat sekali.

"Iya, iya. Ibu cintaaaaa sekali padamu," ujarku penuh bungah dan haru.

(Ditulis sembari mendengarkan lagu For You I Will - Monica)

Friday, August 28, 2015

Punya Anak atau Tidak?

Hidup itu penuh dengan pilihan. Mau menikah atau tidak? Kalau sudah menikah, mau tetap bekerja atau jadi ibu rumah tangga full time? Mau punya anak atau tidak? Kalau pun punya anak, mau melahirkan sendiri atau adopsi saja? Itu baru sedikit contoh dari sekian banyak pilihan yang akan ada di hadapan kita, saat kita beranjak dewasa.

Mengapa pernikahan dan keluarga yang saya jadikan contoh, di atas? Karena saya tergelitik oleh sebuah artikel atau blog post seorang perempuan yang menyatakan sikapnya, bahwa dia tidak mau punya anak, yang banyak beredar di media sosial, terutama Facebook. Saya sendiri tidak mau memberikan penilaian apa-apa, karena saya percaya hidup memang adalah pilihan. Lebih tepatnya, rentetan pilihan dengan tanggung jawab yang mengikuti setelahnya.

Kembali ke soal keluarga, pernikahan dan anak. Pertanyaan yang sampai saat ini masih datang pada saya, setelah perceraian dan mantan suami saya menikah lagi, adalah, “Nissa mau nikah lagi, gak?”. Biasanya saya menanggapi dengan jawaban, “Kalau memang masih ada jodohnya, saya tidak bisa menolak, kan? Tapi kalau pun memang harus hidup sendirian, saya juga siap.” Dalam perkara ini, saya tidak memilih mau menikah lagi atau tidak, saya memilih untuk menyiapkan diri apapun kemungkinan yang terjadi di depan.

Pertanyaan lain yang kemudian ditanyakan adalah, “Cari suami lagilah, emang kamu gak pengen punya anak?”. Membangun keluarga adalah cita-cita buat saya. Sebuah warisan yang ingin saya tinggalkan, jika nanti tiba waktunya saya dipanggil oleh Maha Pencipta. Tapi membangun keluarga, buat saya, tidak lagi erat hubungannya dengan punya suami atau tidak. Untuk saya, kalau memang tidak ada jodohnya lagi, bukan berarti saya tidak bisa membangun keluarga lagi. Saya bisa membesarkan anak-anak yang kurang beruntung bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan dibesarkan di dalam lingkungan yang baik, bukan begitu? Menjadi seorang ibu kan tidak selalu berarti harus melahirkan, justru tanggung jawab setelahnyalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan.

Membesarkan anak adalah the ultimate dream untuk saya. Mulai dari hal-hal kecil seperti menyanyikan lagu nina bobo atau membacakan cerita pengantar tidur, hingga memilih sekolah yang baik dan mengajarkan mereka nilai-nilai kehidupan, adalah tantangan yang di satu sisi membuat takut, namun di sisi lain membuat hati tergetar. Apapun yang saya lakukan sekarang memang adalah untuk mempersiapkan hidup saya ke depan, termasuk di dalamnya suatu saat nanti saya ingin membesarkan anak, anak siapapun itu.

Saya tidak akan mencemooh mereka yang memilih untuk enggan mengemban tanggung jawab maha berat sebagai seorang ibu, pun tidak lantas mengagungkan mereka yang dengan senang hati menjadi ibu. Keduanya punya cerita dan latar belakang masing-masing yang mungkin kita tidak bisa lihat. Bukankah semua orang punya perjuangan mereka masing-masing? Tidak ada satu pun dari kita yang berhak menghakimi orang lain, apa lagi kalau kita tidak tahu apa-apa tentang mereka. 

Punya anak atau tidak, setiap manusia pasti punya tujuan hidupnya sendiri-sendiri dan setiap tujuan pun ada jalannya masing-masing. Selama tidak merugikan dan menyakiti orang lain, pun dijalani dengan penuh tanggung jawab atas segala konsekuensi, menurut saya, pilihan apapun sah-sah saja. Urusan dengan agama dan Tuhan, saya tidak bisa ikut-ikutan, karena itu hubungan personal seseorang dengan penciptanya.

Saturday, August 15, 2015

Hati Hari Ini

"Kamu bukan yang aku mau. Kamu adalah kesalahan yang seharusnya tidak aku buat, tiga tahun lalu," katamu penuh amarah dan ekspresi jijik yang tersirat.

Aku diam. Tak berbicara apa-apa, pun menitikkan air mata. Aku mendengar hatimu, bukan kata-katamu. Aku merasakan perihmu, bukan amarahku. Aku melihat jiwamu, bukan tudingan jari telunjukmu, di wajahku.

Aku tahu, malam itu, saat kata-kata itu keluar dari mulutmu, kamu tengah bertarung melawan ego dan gengsi semu yang meliputi hati dan pikiranmu. Itu sebabnya aku memilih memandang lurus ke dalam matamu, bukan menyerangmu, meski tanganku bergetar menahan keinginan untuk menampar.

Kamu. Laki-laki yang aku perjuangkan sepenuh hatiku, bertahun-tahun lalu. Laki-laki yang mempersembahkan janjinya untuk menjadikanku sebelah sayap untuk terbang ke surga bersama-sama. Laki-laki yang sukses menyentuh hatiku dan mengajarkan arti kelembutan dan kepekaan rasa. Laki-laki yang kubiarkan masuk dalam wilayah terdalam dan menduduki tempat teristimewa. Laki-laki yang meminangku dengan sejuta asa di matanya.

Malam itu. Kamu seolah beralih rupa, menjadi laki-laki yang penuh benci. Laki-laki yang satu-satunya keinginannya adalah pergi. Laki-laki yang mengingkari semua janji. Laki-laki yang sepenuh akal dan hati berniat menyakiti. Laki-laki yang tak lagi kenal bahasa hati. Laki-laki yang akhirnya membunuhku dengan bisa yang tak terperi. Laki-laki yang tak malu mengkhianati.

"Kamu bukan istri yang memenuhi harapanku. Kamu membuat aku bimbang harus memilih di antara dua, kamu atau dia," ujarmu gamblang mengungkap cinta untuk lain wanita.

Saat itu. Aku tak mendengar ucapmu, aku mencoba selami pikir dan rasa. Aku tak memandang wajahmu, aku mencoba mengintip jiwa lewat dua bola mata. Hingga aku tersadar, kamu sudah tak ada. Kamu yang aku cinta sudah menguap entah kemana. Hati dan jiwa itu, bukan lagi hati dan jiwa yang mengucap sumpah di hadapan Tuhan, untuk membangun mimpi dan kebahagiaan. Bola mata itu, bukan lagi bola mata yang mengantarkan senyuman. Kamu sudah bukan laki-laki itu lagi.

"Dia berhasil membuatmu jadi ksatria yang rela memperjuangkan apa saja demi mempersunting dirinya. Dia menyiramimu dengan bahagia yang selalu kamu damba dan puja. Dia membuatmu bangga. Saat kamu harus memilih antara aku atau dia, artinya kamu harus memilih dia, karena aku bukan pilihan, aku adalah kepastian yang tidak kamu inginkan. Pergilah padanya, tak usah cemas, aku sudah memaafkan," ujarku, saat akhirnya aku bisa melafal kata, setelah sekian lama bibir kelu karena mati rasa. Maka malam itu, adalah malam terakhir aku mengharapkanmu. Malam terakhir aku menahanmu dan mencoba mempertahankan cintaku.

Hari ini, 14 bulan setelah malam itu. Aku mendapati kamu telah memenangkan apa yang kamu inginkan. Mempersunting sang wanita idaman yang menjanjikan harapan kebahagiaan, hingga akhir zaman. Awalnya aku pikir aku akan kembali terluka mengetahuinya, ternyata tidak. Aku turut tersenyum bahagia melihat fotomu bersanding dengannya di pelaminan. Dalam hening aku mengucap doa, agar kamu dan dia bahagia mengarungi bahtera yang demikian mahal harganya. Sesungguhnya, aku lega, karena jawaban itu tiba juga.

Hari ini, 14 bulan setelah malam itu. Aku tahu bahwa aku sudah jadi lebih dewasa menghadapi dunia. Aku mengerti bahwa kini hati telah bebas dari amarah dan rasa benci, bahwa ini hanya bagian dari hidup yang harus aku jalani. Dan pemahaman ini membuatku lebih berani dan semakin meyakini bahwa aku bisa tempatkan hati dan kepala di udara, dengan dua kaki tetap di bumi.

(Ditulis dengan alunan piano dari lagu Dewa 19, "Cinta Kan Membawamu")

Thursday, July 9, 2015

Rindu, Kalbu, Tabu

Saat aku merindu, dini hari selalu jadi musuh tidur lelapku. Seenaknya dia memaksaku membuka kelopak mata, untuk kemudian membuatku memikirkan kamu, walaupun kamu dekat di sisiku, seperti malam itu.

Sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu kamu tak akan selamanya bersamaku, tapi aku tak mau mengaku. Maka saat dini hari tiba, ketakutanku membuncah hingga membangunkan tidur lelap, di tengah lelah.

Kamu ada di situ, tidur telentang dengan wajah begitu tenang. Kudekatkan telinga ke wajahmu, mencoba merasakan hembus napasmu. Lalu kuletakkan kepala, di dadamu demi mendengar setiap detak jantungmu seolah berkata, "Aku hidup. Aku masih ada. Tenang saja." Sejurus kemudian aku bisa tersenyum lega, hingga dini hari tak lagi menakuti. Aku pun bisa kembali terlelap nyenyak, di sisimu. Hal yang sama selalu terulang di malam-malam setelahnya, hingga akhirnya kamu sungguh sirna. Tidak lagi ada.

Meski begitu, ritual dini hari itu tidak pernah meninggalkan aku. Seperti halnya rindu yang enggan meninggalkan kalbu, meski aku tahu kamu adalah hal yang tabu meski hanya untuk kusebut dalam bisu.

(Ditulis dengan iringan lagu Silverchair - Across The Night)

Thursday, May 7, 2015

The Wisdom of Audrey Hepburn

Aktris cantik yang menjadi iconic sejak penampilannya membintangi film "Breakfast at Tiffany's" selalu punya opini maupun pemikiran, yang menurut saya, sejalan dengan pendapat dan paham yang saya yakini tentang hidup dan manusia. Dua di antaranya yang saya suka, bisa disimak, di bawah ini:

How shall I sum up my life? I think I've been particularly lucky. Does that have something to do with faith also? I know my mother always used to say, 'Good things aren't supposed to just fall in your lap. God is very generous, but he expects you to do your part first.' So you have to make that effort. But at the end of a bad time or a huge effort, I've always had - how shall I say it? - the prize at the end. My whole life shows that. -- Audrey Hepburn

I decided, very early on, just to accept life unconditionally; I never expected it to do anything special for me, yet I seemed to accomplish far more than I had ever hoped. Most of the time it just happened to me without my ever seeking it. -- Audrey Hepburn

Don't you just love her? :)

Thursday, April 30, 2015

Kawan

Seorang kawan pernah berkata bijak, bahwa Tuhan mendesain manusia untuk menjalani aneka tantangan dan cobaan. "Jadi by default manusia itu memang tercipta untuk berjuang, sepanjang usianya, di dunia. Istirahat is not an option, kecuali nanti kalau sudah mati. Itu pun kalau lolos masuk surga," ujarnya.

Kawanku yang satu ini memang selalu tahu harus berkata apa, yang selalu berhasil pula membuatku, yang biasanya ngeyel, cuma bisa manggut-manggut mengamini. Malam itu, saat ia mengeluarkan petuah bijaknya itu, aku sedang dalam kondisi tak menentu. Kepala pening, karena masuk angin akibat terlambat makan. Hati remuk redam, karena siang harinya, setelah sidang ke sekian kalinya, akhirnya aku gagal membela klienku dan harus merelakan statusnya berubah dari tersangka menjadi terdakwa. Kaki pegal, karena terjebak dua jam dalam kemacetan ibu kota yang semakin tidak manusiawi. Pokoknya, aku benci pada dunia, hari itu.

Dalam keadaan dongkol dan mental drop, aku meneleponnya, "Aku mau ketemu sekarang. Aku pengen maraaaah banget!". Dia hanya menjawab singkat, "Oke."

Maka bertemulah kami di sebuah cafe, di rooftop sebuah gedung, di kawasan Kemang. Aku sampai lebih dulu dan memilih tempat duduk dengan view favorit, kerlip lampu dan barisan gedung-gedung tinggi. Dengan pemandangan seperti itu, aku bisa betah berjam-jam hanya melempar pandangan dan berkedip selaras dengan kedipan lampu, dan memang itulah yang tengah aku lakukan malam itu, ketika tiba-tiba terasa ada dua tangan meremas hangat kedua bahuku, "Hey, how was your day, ibu pengacara?," ujar si pemilik tangan, yang kemudian duduk di hadapanku.

Aku habiskan beberapa saat untuk memperhatikan dia yang ada di depan, sementara dia memilih menu untuk makan malam kami. Kulitnya sawo matang, perawakannya tak tinggi - walaupun lebih tinggi dariku, pipi sedikit tembem, dan berkaca mata, jauh dari tampan, deh, pokoknya. Dipikir-pikir, sudah bertahun-tahun kenal dekat, rasanya baru kali ini aku memperhatikan wajah dan tampilan si kawan ini.

"Heeeey, kok bengong? Katanya mau marah, mana? I'm all ears," katanya sambil melambai-lambaikan tangan, di depan wajahku.

Kalimatnya barusan bagai komando bagiku untuk menumpahkan semua hal - dari yang penting sekali, kurang penting, hingga yang sama sekali tak penting - padanya. Rasanya tak kurang dari tiga jam, aku bicara - sambil makan tentunya - dengan ragam emosi yang menyertai, hingga aku akhiri semua kisah dengan pernyataan, "Kenapa, sih, harus begini amat? Kadang-kadang aku capeeeeek banget!!".

Dia tersenyum, mengambil napas panjang, lalu menjawab tiga jam keluh kesah tadi dengan satu kalimat yang saya kutip di awal tulisan ini. Hening sesaat, sebelum akhirnya aku mengangkat bahu dan berkata, "Iya, sih."

Dia menanggapinya dengan tawa lepas, "Hahahahaha, baiklah. Aku tahu harimu berat, hari ini. Let's go home dan bongkar freezer, aku beli satu bucket es krim vanila kesukaanmu. Malam ini akan jadi malammu, let's eat ice cream and I'll company you to watch Sex and the City."

Kala lelah seperti inilah yang justru menjadi momen aku menyadari betapa istimewa sosok kawan yang tampaknya tak istimewa ini. Bersamanya aku tak perlu pura-pura, dia tak meremehkan sekalipun saat bersamanya, aku tak sekeren saat beradu argumentasi di ruang sidang, bahkan seringkali waktu bersamanya adalah waktu yang sarat dengan keluh kesah. Ia pun tak pernah menghakimi, saat aku gagal atau salah langkah.

Momen seperti ini pulalah yang membuatku tak pernah hilang kekaguman dengan kawan yang kukenal, sejak lima tahun lalu. Kawan yang tak hentinya memberikan rasa aman bagiku untuk jadi diri sendiri, jadi manusia biasa, di sisinya. Kawan yang bisa mengintip jiwa lewat bola mata. Kawan yang tak akan bisa habis kusyukuri karena dia selalu bisa jadi tempatku pulang. Kawan yang mengikat janji sehidup semati dan bertemu kembali di surga nanti.

(Ditulis dengan iringan lagu Pulang - Andien)

Monday, April 6, 2015

Manusia Biasa

Aku suka ketinggian. Gunung, bukit, gedung pencakar langit, atau tempat tinggi manapun yang memungkinkan aku melihat segalanya lebih luas dan lepas. Aku selalu mencari ketinggian, saat raga sudah tak sanggup menahan rasa, saat benak rasanya mau meledak. Seperti malam ini.

Saat hati penuh, rasanya lidah pun kelu untuk berkeluh. Ingin bercerita, tapi tak tahu pada siapa dan mau berkata apa. Hanya pening yang dirasa. Itu sebabnya aku memilih berada di sini, di puncak gedung 20 lantai, bersama desau angin dan kerlip lampu kota, yang kunikmati sendiri. 

Berada di ketinggian, membuat jarakku dengan langit lebih dekat, hingga kurasa kata-kata batinku akan tersampaikan dengan mudah dan lengkap, meski penat membuat suara tercekat. Saat menengadah dan menatap langit, rasanya aku kerdil dan lemah sekali, hingga tak kuasa lagi bendungan air mata menahani. Pecahlah sudah, terurai air mata, mengantar cerita dalam setiap bulirnya. 

Kadang-kadang kita tak perlu berkata apa-apa, untuk mengungkap luka yang ternyata kita pun tak tahu pasti kapan sembuhnya. Kadang-kadang diam bisa bercerita lebih banyak daripada bicara. Kadang-kadang tanpa aksara pun sajak dapat nyaring bunyinya, melafaskan angkara, duka, kecewa, dan asa yang tak berbalas bertahun lamanya. 

Kita ini manusia biasa, yang bisa jatuh lemah tak berdaya tak peduli seberapapun mahirnya kita berlaku jadi ksatria. Manusia biasa bukan batu karang yang kokoh bergeming meski ombak menderu hingga memasuki tiap pori tubuhnya. Manusia punya jiwa yang ada kalanya perlu terpuruk sesaat, berkalang lumpur, dan merendah serendah-rendahnya, di hadapan-Nya yang punya kekuatan di atas segalanya. Sekadar mengaduh, menitipkan beban, menyampaikan harapan, hingga menguras kantung air mata hingga tak bersisa. 

Di sini, malam ini, aku absen berkata-kata. Aku hanya ingin limpahkan rasa lewat tatap dan bulir air mata. Hingga lega, hingga ruang dalam hati dan kepala kembali tertata, hingga cukup amunisi untuk kembali jadi ksatria. Menghadapi naik turun gelombang, pertukaran susah senang, hingga tiba saatnya lagi lelah menghadang, maka aku akan mencari tempat tinggi lagi, untuk bercerita pada-Mu lagi.

Monday, March 9, 2015

Qawwam

The phrase "qawwamuna 'ala an-nisa" (An-Nisa, [4]: 34) can be understood as "watch over", "protect", "support", "attend to", "look after", or "be in charge of" women. (Reza Aslan - No God but GOD)

Dari penjelasan secara etimologi saja jelas kan ya, bahwa untuk memenuhi kewajiban sebagai qawwam, memimpin saja tidak cukup. Laki-laki juga punya kewajiban melindungi, mendukung, menjaga, dan bertanggung jawab atas perempuan.

Sebaliknya, ini tidak berarti lantas perempuan bisa ongkang-ongkang kaki. Perempuan berkewajiban menjadi cerdas, kuat, namun lembut hatinya. Laki-laki mengemban tanggung jawab sedemikian berat, memerlukan penyeimbang yang bisa menguatkan. Nah, kalau perempuannya menyek-menyek gak bisa apa-apa, terus bagaimana bisa menguatkan?

Saya percaya agama saya mengajarkan bahwa dalam hidup semua perlu seimbang. Yang satu dilebihkan atas yang lain dalam beberapa hal, supaya bisa saling melengkapi. Ibarat jemari tangan kanan dan kiri, yang jika dikatupkan dapat saling mengisi dan saling terkait, hingga menyatu erat tak meninggalkan rongga.

Sunday, February 22, 2015

Cantik Itu (Versi Papa)

Hubungan ayah dan anak perempuannya memang unik dan menyenangkan untuk disimak. Itu sebabnya, saat sendirian dan pikiran mengembara ke masa kecil, saya kerap meretas kembali bagaimana hubungan saya tumbuh besar di bawah naungan papa. Meski tak sedekat hubungan papa dan anak perempuan seperti di sinetron atau film, untuk saya, peran papa cukup penting dalam meletakkan fondasi cara berpikir dan sudut pandang saya sebagai perempuan, salah satunya dalam hal kecantikan. 

"Cantik itu di sini dan di sini," ujar papa saya sembari menunjuk kepala dan dada, saat mendapati saya merajuk karena tak diperbolehkan mempercantik diri dengan kosmetik ala mama. Kalau tak salah ingat, kala itu saya masih berusia 5 tahun-an. Mungkin sekarang malah papa sudah lupa pernah berkata demikian.

Sejak kecil, orang tua saya memang tidak pernah memperkenalkan konsep cantik fisik. Kalau di keluarga-keluarga lain, anak perempuan mungkin sering mendapat julukan "cantik" yang mengacu pada cantiknya wajah, saya tidak. Orang tua, terutama papa, selalu menekankan bahwa cantik itu adalah kecerdasan yang diisyaratkan dengan menunjuk kepala dan kelembutan hati yang diisyaratkan dengan menunjuk dada, sejak saya kecil, hingga sekarang.

Awalnya saya pikir papa bilang begitu hanya untuk melarang saya bermain kosmetik, namun seiring waktu saya beranjak dewasa, saya mulai mengerti apa maksudnya. Papa tidak ingin saya berpikir bahwa cantik adalah paras menawan dan berpenampilan ala bintang-bintang Hollywood. Papa juga tidak mau saya menjadi rentan dengan komentar orang-orang pasal apapun yang berkaitan dengan kondisi fisik, karena kenyataannya perempuan memang mudah sekali terpengaruh dengan komentar-komentar miring tentang penampilan mereka. 

Dalam perjalanan usia, saya menemukan tidak sedikit kawan yang trauma karena ketika remaja kerap diejek berwajah jelek, atau berkulit hitam, atau berbadan gendut, dsb. Bukan berarti tidak boleh sakit hati, bagaimanapun bagi seorang perempuan, tampil cantik itu memang penting, tapi harus kehilangan kepercayaan diri "hanya" karena bagaimana orang lain menilai fisik kita, itulah yang papa tidak ingin saya alami.

Tak dinyana, doktrin papa itu rasanya cukup berhasil. Saya tahu kok, saya tidak cantik, justru kalau ada yang memuji saya cantik, rasanya sedikit aneh. Tapi saya tahu bahwa saya punya banyak hal lain yang bisa membuat saya merasa cantik, selain tampilan fisik. Bukankah yang terpenting adalah apa yang kita rasa dan pikirkan? Saat diri sendiri sudah merasa cukup, kita tidak akan merasa perlu pengakuan orang lain, dalam segala hal, tak terkecuali soal cantik atau tidak cantik.

Meski tak yakin berapa persen porsinya, tapi saya yakin doktrin papa mengambil peran yang signifikan, yang membuat saya selalu terpacu untuk belajar lagi dan lagi dan lagi, dan selalu berusaha melakukan apapun dengan hati. Mungkin masih kurang di sana sini, ya wajar, namanya juga berusaha, tapi menyadari dan menerima bahwa kita punya kekurangan dan kelebihan yang memang berbeda dengan perempuan-perempuan lain, membuat segalanya lebih mudah.

Meski masih sedikit nyelekit di hati, ketika saya dibanding-bandingkan (atau tergoda membandingkan diri sendiri) dengan perempuan lain yang (memang) lebih cantik, saya dapat dengan lekas meredakan gejolaknya dengan menyadari bahwa saya memang bukan dia atau mereka. Saya adalah Anissa, perempuan yang punya versi cantik saya sendiri. 

Terima kasih papa, legacy ini akan saya teruskan kepada anak perempuan saya nanti. Cantik itu bukan di sini (wajah), tapi di sini (kecerdasan) dan di sini (kelembutan hati). 

Saturday, January 31, 2015

Marry Me

Pukul 2 pagi. Ia menghentikan mobilnya, di hamparan tanah lapang berselimut rumput hijau, di kawasan Puncak. Sekeliling kami gelap, satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu depan mobil yang kami kendarai.

Kami berdua diam menikmati hening sejenak, sembari menatap langit dini hari yang penuh bintang, cantik sekali.

Ia menyalakan radio, sayup-sayup terdengar suara Ed Sheeran melantunkan lagu favorit kami berdua, Thinking Out Loud. Volume radio kunaikkan, hingga hening pun pecah oleh lantunan suara sang penyanyi. Ia membuka pintu mobil, keluar, dan berdiri di depan mobil, satu-satunya area yang cukup terang. Aku mengikutinya.

Kami berdiri berhadapan, ia menawarkan tangannya, mengajakku berdansa mengiringi lagu yang terdengar dari radio, di dalam mobil. Kuraih tangannya, kami pun berdansa. Ia memeluk pinggangku, aku melingkarkan lengan di lehernya. Tak ada kata terucap. Kami benar-benar larut dalam setiap emosi yang mengalir dari tiap lirik lagu dan alunan musiknya.

Ia menarik tubuhku lebih dekat, hingga kami berpelukan.

"Marry me," bisiknya di telinga kananku.
"Okay," bisikku membalas, di telinga kanannya.

Ia memelukku lebih erat, masih berdansa.

"I love you," bisiknya lagi.
"I know you do," balasku berbisik.

Kubenamkan wajahku lebih dalam ke pelukannya. Ia membelai kepalaku. Kami masih berpelukan, berdansa, meski lantunan suara Ed Sheeran tak lagi terdengar. Kami terlalu lega - lebih dari sekadar bahagia - hingga tak ingin kehilangan sedetik pun momen ini, setidaknya hingga matahari menggantikan kerlipan bintang malam ini.

(Ditulis dengan iringan lagu Ed Sheeran, Thinking Out Loud)


Monday, January 26, 2015

Gusti Allah Mboten Sare

"Wah, Nis, kalau menurut primbon Jawa, hidupmu banyak masalahnya," kata seorang teman kantor yang kebetulan lahir dari keluarga Jawa yang sangat Njawani, masih percaya primbon dan bisa membaca primbon.

Bukan bermaksud menyekutukan Allah SWT, tapi penasaran juga waktu si teman ini membacakan karakter dan kehidupan saya sebagai orang yang, menurut penanggalan Jawa, lahir di Jumat Wage. Menanggapi perkataan teman saya tadi, saya hanya berseru, "Whaaaaat?!".

Lalu teman saya melanjutkan, katanya dalam hidup saya akan banyak jatuh iba terhadap orang lain, sehingga tanpa disadari saya menanggung beban masalah orang-orang yang ada di sekitar saya. Itu sebabnya hidup saya akan banyak masalahnya.

Pembacaan primbon dari teman saya tadi, sesungguhnya sejalan dengan hasil tes kepribadian Myers Briggs , dari tes itu saya adalah tipe INFJ yang punya kesulitan menolak membantu orang lain, walhasil saya seringkali (tanpa sadar) didaulat untuk membereskan kekacauan yang diperbuat orang lain. Dan kalau dipikir-pikir lagi, memang ada benarnya, sih. Kasihan ya, saya. Hahahaha...

Lalu teman saya melanjutkan pembacaan primbon-nya. Katanya, saya tidak perlu khawatir, karena Gusti Allah mboten sare (tidak tidur). Saya diciptakan mengemban banyak masalah, namun dibarengi dengan kemudahan-kemudahan ekstra yang mengikuti hidup saya. Apapun masalahnya, seberat apapun kelihatannya, Allah akan selalu kasih jalan keluar buat saya.

Terlepas dari urusan primbon-primbonan, kalimat "Gusti Allah mboten sare" sungguh menyentuh hati dan rasa. Betapa seringnya saya sibuk sendiri, tenggelam dalam tumpukan urusan yang menuntut diselesaikan, belum lagi aneka ragam masalah yang terjadi (ya namanya hidup tidak mungkin lempeng tanpa masalah kan, ya?), hingga akhirnya lupa bahwa setiap waktu berjalan ke depan, setiap hari terlewati, hingga akhirnya saya berada di sini dalam kondisi sangat baik-baik saja, adalah bukti bahwa Allah tidak tidur.

Dia Maha Tahu apapun yang terjadi, bahkan segala sesuatu yang saya sembunyikan rapat-rapat dari orang lain. Allah melihat, mendengar, mengetahui. Allah sungguh tidak tidur, setiap masalah yang terjadi, setiap ujian selalu diberikan-Nya bersamaan dengan jalan keluar. Mengingat kasih sayang Allah sungguh membuat segalanya jadi lebih ringan. Kesalahan apapun yang kita lakukan, selama kita berusaha melakukan yang terbaik, tidak menyerah untuk memperbaiki diri, pasti ada jalan keluar.

Mulai sekarang, saat hidup terasa berat, saat hari-hari terasa lambat dan menambah penat, saya harus selalu ingat, "Gusti Allah mboten sare."


Thursday, January 15, 2015

The Land of the Remembered

What are your choices when someone holds a gun to your head? You do what they say or they shoot you, right? Wrong! You take the gun. You pull out a bigger gun or you call their bluff or you do one of another 146 other things. - Harvey Specter
Saat direnungi, sebenarnya kita seringkali berada dalam kondisi dimana seolah-olah kita berada di bawah ancaman senjata dari seseorang atau sesuatu. Si pemegang senjata bisa orang lain, bisa sebuah keadaan yang tidak kita sukai, bisa juga diri kita sendiri. Siapapun si pemegang senjata itu, seperti apa yang Harvey Specter katakan di quote di atas, kita harus bisa mengambil alih kontrolnya, apapun caranya.

Bukan cuma kondisi menyenangkan yang bisa membuat manusia terlena, kondisi buruk yang membuat jenuh dan stuck pun sesungguhnya bisa melenakan. Membuat kita berkubang dalam kemalasan untuk berbuat sesuatu, karena merasa bahwa keadaan toh tidak akan berubah. Itu juga yang akhir-akhir ini saya rasakan, yang menempatkan saya di bawah ancaman "senjata" yang membuat saya tidak bisa (tidak mau) bergerak. Hingga beberapa hari terakhir saya mencoba berpikir dari sudut pandang berbeda.

Saya mungkin tidak menyukai keadaan dimana saya berada sekarang, tapi saya tahu pasti apa yang saya sukai, diri saya sendiri. Bukan bermaksud menjadi seorang narsistik, hanya menegaskan pada diri sendiri bahwa saya tahu siapa saya. Saya bukan orang yang mudah menyerah, I'm not a good loser and I love that part about me. Setiap ditempatkan pada pilihan antara bertahan atau menyerah, saya selalu memilih opsi pertama. Ada banyak cara yang masih bisa saya coba untuk mengubah sesuatu. Tentunya dengan menyadari porsi dan peta kekuatan saya sendiri. Intinya melakukan apapun in my power.

Saya kembali pada keyakinan bahwa saat kita melakukan apapun dari hati dan dengan usaha terbaik, akan memberikan sesuatu yang baik pula, setidaknya untuk diri saya sendiri. Pun jika saya pada akhirnya memilih untuk berhenti dan pergi, setidaknya saya meninggalkan kesan manis, yang membuat saya (dan orang lain) melihat dan mengingat diri saya sebagai pribadi yang selalu memberikan usaha terbaiknya.

Dalam budaya Mexico, ada yang disebut The Day of the Dead dimana di hari itu, seluruh keluarga berkumpul untuk mengenang dan mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal. Budaya ini kemudian menjadi salah satu bagian penting dalam film berjudul "The Book of Life" yang menceritakan adanya dua dunia untuk mereka yang sudah mati, the land of the remembered yang seindah surga, dan the land of the forgotten yang semenyedihkan neraka. Bagi mereka yang selalu dikenang dan didoakan akan tetap tinggal di the land of the remembered, sedangkan mereka yang terlupakan akan berada di the land of forgotten menunggu waktu jiwa mereka hancur menjadi debu.

Walaupun tidak berdarah Mexico pun mengamini budaya di atas, tapi saya rasa tak satu pun manusia di dunia mau terpuruk di the land of the forgotten. Maka saya melakukan yang terbaik sepanjang saya bisa, bukan untuk menang dan berada di atas, melainkan sesederhana untuk menjadikan diri saya layak berada di the land of the remembered.





Saturday, January 10, 2015

Rindu

Aku rindu kamu...

Bolak balik aku cari namamu di daftar nomor telepon, di handphone, membuka aplikasi chat, tapi rasanya jari-jari ini kaku bahkan untuk mengetik kata "halo". Aku terlalu gengsi untuk menghubungimu, padahal hati ini menjerit, "Aku rindu kamu!".

Sudah jam 2 pagi, tapi aku tidak kunjung bisa memejamkan mata. Apakah ini bukti bahwa dini hari memang adalah waktu bagi para pecinta terjaga karena kantuknya habis dimakan rindu? Ah, terlalu picisan buatku. 

Aku ambil lagi handphone yang sedari tadi tergeletak bisu di depanku. Pikirku, mungkin kutelepon saja kamu, supaya rindu ini berlalu setelah mendengar suaramu. Tapi tabu buatku menjadi perempuan yang mati-matian mengejarmu. Dimana harga diriku jika aku mengemis perhatian dari orang yang jelas-jelas tak punya minat yang sama besarnya?

Aduh, lagi-lagi logika dan rasa beradu. Coba lagi atau sudah menyerah saja? Ah sudahlah, peduli setan apa yang logika dan rasa katakan, yang manapun yang lebih lantang tak akan mengubah fakta bahwa aku rindu kamu. Titik.

(Ditulis ketika lagu Ariana Grande - One Last Time mengalun dari playlist iTunes)