Saturday, January 31, 2015

Marry Me

Pukul 2 pagi. Ia menghentikan mobilnya, di hamparan tanah lapang berselimut rumput hijau, di kawasan Puncak. Sekeliling kami gelap, satu-satunya sumber cahaya hanya dari lampu depan mobil yang kami kendarai.

Kami berdua diam menikmati hening sejenak, sembari menatap langit dini hari yang penuh bintang, cantik sekali.

Ia menyalakan radio, sayup-sayup terdengar suara Ed Sheeran melantunkan lagu favorit kami berdua, Thinking Out Loud. Volume radio kunaikkan, hingga hening pun pecah oleh lantunan suara sang penyanyi. Ia membuka pintu mobil, keluar, dan berdiri di depan mobil, satu-satunya area yang cukup terang. Aku mengikutinya.

Kami berdiri berhadapan, ia menawarkan tangannya, mengajakku berdansa mengiringi lagu yang terdengar dari radio, di dalam mobil. Kuraih tangannya, kami pun berdansa. Ia memeluk pinggangku, aku melingkarkan lengan di lehernya. Tak ada kata terucap. Kami benar-benar larut dalam setiap emosi yang mengalir dari tiap lirik lagu dan alunan musiknya.

Ia menarik tubuhku lebih dekat, hingga kami berpelukan.

"Marry me," bisiknya di telinga kananku.
"Okay," bisikku membalas, di telinga kanannya.

Ia memelukku lebih erat, masih berdansa.

"I love you," bisiknya lagi.
"I know you do," balasku berbisik.

Kubenamkan wajahku lebih dalam ke pelukannya. Ia membelai kepalaku. Kami masih berpelukan, berdansa, meski lantunan suara Ed Sheeran tak lagi terdengar. Kami terlalu lega - lebih dari sekadar bahagia - hingga tak ingin kehilangan sedetik pun momen ini, setidaknya hingga matahari menggantikan kerlipan bintang malam ini.

(Ditulis dengan iringan lagu Ed Sheeran, Thinking Out Loud)


Monday, January 26, 2015

Gusti Allah Mboten Sare

"Wah, Nis, kalau menurut primbon Jawa, hidupmu banyak masalahnya," kata seorang teman kantor yang kebetulan lahir dari keluarga Jawa yang sangat Njawani, masih percaya primbon dan bisa membaca primbon.

Bukan bermaksud menyekutukan Allah SWT, tapi penasaran juga waktu si teman ini membacakan karakter dan kehidupan saya sebagai orang yang, menurut penanggalan Jawa, lahir di Jumat Wage. Menanggapi perkataan teman saya tadi, saya hanya berseru, "Whaaaaat?!".

Lalu teman saya melanjutkan, katanya dalam hidup saya akan banyak jatuh iba terhadap orang lain, sehingga tanpa disadari saya menanggung beban masalah orang-orang yang ada di sekitar saya. Itu sebabnya hidup saya akan banyak masalahnya.

Pembacaan primbon dari teman saya tadi, sesungguhnya sejalan dengan hasil tes kepribadian Myers Briggs , dari tes itu saya adalah tipe INFJ yang punya kesulitan menolak membantu orang lain, walhasil saya seringkali (tanpa sadar) didaulat untuk membereskan kekacauan yang diperbuat orang lain. Dan kalau dipikir-pikir lagi, memang ada benarnya, sih. Kasihan ya, saya. Hahahaha...

Lalu teman saya melanjutkan pembacaan primbon-nya. Katanya, saya tidak perlu khawatir, karena Gusti Allah mboten sare (tidak tidur). Saya diciptakan mengemban banyak masalah, namun dibarengi dengan kemudahan-kemudahan ekstra yang mengikuti hidup saya. Apapun masalahnya, seberat apapun kelihatannya, Allah akan selalu kasih jalan keluar buat saya.

Terlepas dari urusan primbon-primbonan, kalimat "Gusti Allah mboten sare" sungguh menyentuh hati dan rasa. Betapa seringnya saya sibuk sendiri, tenggelam dalam tumpukan urusan yang menuntut diselesaikan, belum lagi aneka ragam masalah yang terjadi (ya namanya hidup tidak mungkin lempeng tanpa masalah kan, ya?), hingga akhirnya lupa bahwa setiap waktu berjalan ke depan, setiap hari terlewati, hingga akhirnya saya berada di sini dalam kondisi sangat baik-baik saja, adalah bukti bahwa Allah tidak tidur.

Dia Maha Tahu apapun yang terjadi, bahkan segala sesuatu yang saya sembunyikan rapat-rapat dari orang lain. Allah melihat, mendengar, mengetahui. Allah sungguh tidak tidur, setiap masalah yang terjadi, setiap ujian selalu diberikan-Nya bersamaan dengan jalan keluar. Mengingat kasih sayang Allah sungguh membuat segalanya jadi lebih ringan. Kesalahan apapun yang kita lakukan, selama kita berusaha melakukan yang terbaik, tidak menyerah untuk memperbaiki diri, pasti ada jalan keluar.

Mulai sekarang, saat hidup terasa berat, saat hari-hari terasa lambat dan menambah penat, saya harus selalu ingat, "Gusti Allah mboten sare."


Thursday, January 15, 2015

The Land of the Remembered

What are your choices when someone holds a gun to your head? You do what they say or they shoot you, right? Wrong! You take the gun. You pull out a bigger gun or you call their bluff or you do one of another 146 other things. - Harvey Specter
Saat direnungi, sebenarnya kita seringkali berada dalam kondisi dimana seolah-olah kita berada di bawah ancaman senjata dari seseorang atau sesuatu. Si pemegang senjata bisa orang lain, bisa sebuah keadaan yang tidak kita sukai, bisa juga diri kita sendiri. Siapapun si pemegang senjata itu, seperti apa yang Harvey Specter katakan di quote di atas, kita harus bisa mengambil alih kontrolnya, apapun caranya.

Bukan cuma kondisi menyenangkan yang bisa membuat manusia terlena, kondisi buruk yang membuat jenuh dan stuck pun sesungguhnya bisa melenakan. Membuat kita berkubang dalam kemalasan untuk berbuat sesuatu, karena merasa bahwa keadaan toh tidak akan berubah. Itu juga yang akhir-akhir ini saya rasakan, yang menempatkan saya di bawah ancaman "senjata" yang membuat saya tidak bisa (tidak mau) bergerak. Hingga beberapa hari terakhir saya mencoba berpikir dari sudut pandang berbeda.

Saya mungkin tidak menyukai keadaan dimana saya berada sekarang, tapi saya tahu pasti apa yang saya sukai, diri saya sendiri. Bukan bermaksud menjadi seorang narsistik, hanya menegaskan pada diri sendiri bahwa saya tahu siapa saya. Saya bukan orang yang mudah menyerah, I'm not a good loser and I love that part about me. Setiap ditempatkan pada pilihan antara bertahan atau menyerah, saya selalu memilih opsi pertama. Ada banyak cara yang masih bisa saya coba untuk mengubah sesuatu. Tentunya dengan menyadari porsi dan peta kekuatan saya sendiri. Intinya melakukan apapun in my power.

Saya kembali pada keyakinan bahwa saat kita melakukan apapun dari hati dan dengan usaha terbaik, akan memberikan sesuatu yang baik pula, setidaknya untuk diri saya sendiri. Pun jika saya pada akhirnya memilih untuk berhenti dan pergi, setidaknya saya meninggalkan kesan manis, yang membuat saya (dan orang lain) melihat dan mengingat diri saya sebagai pribadi yang selalu memberikan usaha terbaiknya.

Dalam budaya Mexico, ada yang disebut The Day of the Dead dimana di hari itu, seluruh keluarga berkumpul untuk mengenang dan mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal. Budaya ini kemudian menjadi salah satu bagian penting dalam film berjudul "The Book of Life" yang menceritakan adanya dua dunia untuk mereka yang sudah mati, the land of the remembered yang seindah surga, dan the land of the forgotten yang semenyedihkan neraka. Bagi mereka yang selalu dikenang dan didoakan akan tetap tinggal di the land of the remembered, sedangkan mereka yang terlupakan akan berada di the land of forgotten menunggu waktu jiwa mereka hancur menjadi debu.

Walaupun tidak berdarah Mexico pun mengamini budaya di atas, tapi saya rasa tak satu pun manusia di dunia mau terpuruk di the land of the forgotten. Maka saya melakukan yang terbaik sepanjang saya bisa, bukan untuk menang dan berada di atas, melainkan sesederhana untuk menjadikan diri saya layak berada di the land of the remembered.





Saturday, January 10, 2015

Rindu

Aku rindu kamu...

Bolak balik aku cari namamu di daftar nomor telepon, di handphone, membuka aplikasi chat, tapi rasanya jari-jari ini kaku bahkan untuk mengetik kata "halo". Aku terlalu gengsi untuk menghubungimu, padahal hati ini menjerit, "Aku rindu kamu!".

Sudah jam 2 pagi, tapi aku tidak kunjung bisa memejamkan mata. Apakah ini bukti bahwa dini hari memang adalah waktu bagi para pecinta terjaga karena kantuknya habis dimakan rindu? Ah, terlalu picisan buatku. 

Aku ambil lagi handphone yang sedari tadi tergeletak bisu di depanku. Pikirku, mungkin kutelepon saja kamu, supaya rindu ini berlalu setelah mendengar suaramu. Tapi tabu buatku menjadi perempuan yang mati-matian mengejarmu. Dimana harga diriku jika aku mengemis perhatian dari orang yang jelas-jelas tak punya minat yang sama besarnya?

Aduh, lagi-lagi logika dan rasa beradu. Coba lagi atau sudah menyerah saja? Ah sudahlah, peduli setan apa yang logika dan rasa katakan, yang manapun yang lebih lantang tak akan mengubah fakta bahwa aku rindu kamu. Titik.

(Ditulis ketika lagu Ariana Grande - One Last Time mengalun dari playlist iTunes)