Sunday, February 22, 2015

Cantik Itu (Versi Papa)

Hubungan ayah dan anak perempuannya memang unik dan menyenangkan untuk disimak. Itu sebabnya, saat sendirian dan pikiran mengembara ke masa kecil, saya kerap meretas kembali bagaimana hubungan saya tumbuh besar di bawah naungan papa. Meski tak sedekat hubungan papa dan anak perempuan seperti di sinetron atau film, untuk saya, peran papa cukup penting dalam meletakkan fondasi cara berpikir dan sudut pandang saya sebagai perempuan, salah satunya dalam hal kecantikan. 

"Cantik itu di sini dan di sini," ujar papa saya sembari menunjuk kepala dan dada, saat mendapati saya merajuk karena tak diperbolehkan mempercantik diri dengan kosmetik ala mama. Kalau tak salah ingat, kala itu saya masih berusia 5 tahun-an. Mungkin sekarang malah papa sudah lupa pernah berkata demikian.

Sejak kecil, orang tua saya memang tidak pernah memperkenalkan konsep cantik fisik. Kalau di keluarga-keluarga lain, anak perempuan mungkin sering mendapat julukan "cantik" yang mengacu pada cantiknya wajah, saya tidak. Orang tua, terutama papa, selalu menekankan bahwa cantik itu adalah kecerdasan yang diisyaratkan dengan menunjuk kepala dan kelembutan hati yang diisyaratkan dengan menunjuk dada, sejak saya kecil, hingga sekarang.

Awalnya saya pikir papa bilang begitu hanya untuk melarang saya bermain kosmetik, namun seiring waktu saya beranjak dewasa, saya mulai mengerti apa maksudnya. Papa tidak ingin saya berpikir bahwa cantik adalah paras menawan dan berpenampilan ala bintang-bintang Hollywood. Papa juga tidak mau saya menjadi rentan dengan komentar orang-orang pasal apapun yang berkaitan dengan kondisi fisik, karena kenyataannya perempuan memang mudah sekali terpengaruh dengan komentar-komentar miring tentang penampilan mereka. 

Dalam perjalanan usia, saya menemukan tidak sedikit kawan yang trauma karena ketika remaja kerap diejek berwajah jelek, atau berkulit hitam, atau berbadan gendut, dsb. Bukan berarti tidak boleh sakit hati, bagaimanapun bagi seorang perempuan, tampil cantik itu memang penting, tapi harus kehilangan kepercayaan diri "hanya" karena bagaimana orang lain menilai fisik kita, itulah yang papa tidak ingin saya alami.

Tak dinyana, doktrin papa itu rasanya cukup berhasil. Saya tahu kok, saya tidak cantik, justru kalau ada yang memuji saya cantik, rasanya sedikit aneh. Tapi saya tahu bahwa saya punya banyak hal lain yang bisa membuat saya merasa cantik, selain tampilan fisik. Bukankah yang terpenting adalah apa yang kita rasa dan pikirkan? Saat diri sendiri sudah merasa cukup, kita tidak akan merasa perlu pengakuan orang lain, dalam segala hal, tak terkecuali soal cantik atau tidak cantik.

Meski tak yakin berapa persen porsinya, tapi saya yakin doktrin papa mengambil peran yang signifikan, yang membuat saya selalu terpacu untuk belajar lagi dan lagi dan lagi, dan selalu berusaha melakukan apapun dengan hati. Mungkin masih kurang di sana sini, ya wajar, namanya juga berusaha, tapi menyadari dan menerima bahwa kita punya kekurangan dan kelebihan yang memang berbeda dengan perempuan-perempuan lain, membuat segalanya lebih mudah.

Meski masih sedikit nyelekit di hati, ketika saya dibanding-bandingkan (atau tergoda membandingkan diri sendiri) dengan perempuan lain yang (memang) lebih cantik, saya dapat dengan lekas meredakan gejolaknya dengan menyadari bahwa saya memang bukan dia atau mereka. Saya adalah Anissa, perempuan yang punya versi cantik saya sendiri. 

Terima kasih papa, legacy ini akan saya teruskan kepada anak perempuan saya nanti. Cantik itu bukan di sini (wajah), tapi di sini (kecerdasan) dan di sini (kelembutan hati).