Friday, August 28, 2015

Punya Anak atau Tidak?

Hidup itu penuh dengan pilihan. Mau menikah atau tidak? Kalau sudah menikah, mau tetap bekerja atau jadi ibu rumah tangga full time? Mau punya anak atau tidak? Kalau pun punya anak, mau melahirkan sendiri atau adopsi saja? Itu baru sedikit contoh dari sekian banyak pilihan yang akan ada di hadapan kita, saat kita beranjak dewasa.

Mengapa pernikahan dan keluarga yang saya jadikan contoh, di atas? Karena saya tergelitik oleh sebuah artikel atau blog post seorang perempuan yang menyatakan sikapnya, bahwa dia tidak mau punya anak, yang banyak beredar di media sosial, terutama Facebook. Saya sendiri tidak mau memberikan penilaian apa-apa, karena saya percaya hidup memang adalah pilihan. Lebih tepatnya, rentetan pilihan dengan tanggung jawab yang mengikuti setelahnya.

Kembali ke soal keluarga, pernikahan dan anak. Pertanyaan yang sampai saat ini masih datang pada saya, setelah perceraian dan mantan suami saya menikah lagi, adalah, “Nissa mau nikah lagi, gak?”. Biasanya saya menanggapi dengan jawaban, “Kalau memang masih ada jodohnya, saya tidak bisa menolak, kan? Tapi kalau pun memang harus hidup sendirian, saya juga siap.” Dalam perkara ini, saya tidak memilih mau menikah lagi atau tidak, saya memilih untuk menyiapkan diri apapun kemungkinan yang terjadi di depan.

Pertanyaan lain yang kemudian ditanyakan adalah, “Cari suami lagilah, emang kamu gak pengen punya anak?”. Membangun keluarga adalah cita-cita buat saya. Sebuah warisan yang ingin saya tinggalkan, jika nanti tiba waktunya saya dipanggil oleh Maha Pencipta. Tapi membangun keluarga, buat saya, tidak lagi erat hubungannya dengan punya suami atau tidak. Untuk saya, kalau memang tidak ada jodohnya lagi, bukan berarti saya tidak bisa membangun keluarga lagi. Saya bisa membesarkan anak-anak yang kurang beruntung bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan dibesarkan di dalam lingkungan yang baik, bukan begitu? Menjadi seorang ibu kan tidak selalu berarti harus melahirkan, justru tanggung jawab setelahnyalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan.

Membesarkan anak adalah the ultimate dream untuk saya. Mulai dari hal-hal kecil seperti menyanyikan lagu nina bobo atau membacakan cerita pengantar tidur, hingga memilih sekolah yang baik dan mengajarkan mereka nilai-nilai kehidupan, adalah tantangan yang di satu sisi membuat takut, namun di sisi lain membuat hati tergetar. Apapun yang saya lakukan sekarang memang adalah untuk mempersiapkan hidup saya ke depan, termasuk di dalamnya suatu saat nanti saya ingin membesarkan anak, anak siapapun itu.

Saya tidak akan mencemooh mereka yang memilih untuk enggan mengemban tanggung jawab maha berat sebagai seorang ibu, pun tidak lantas mengagungkan mereka yang dengan senang hati menjadi ibu. Keduanya punya cerita dan latar belakang masing-masing yang mungkin kita tidak bisa lihat. Bukankah semua orang punya perjuangan mereka masing-masing? Tidak ada satu pun dari kita yang berhak menghakimi orang lain, apa lagi kalau kita tidak tahu apa-apa tentang mereka. 

Punya anak atau tidak, setiap manusia pasti punya tujuan hidupnya sendiri-sendiri dan setiap tujuan pun ada jalannya masing-masing. Selama tidak merugikan dan menyakiti orang lain, pun dijalani dengan penuh tanggung jawab atas segala konsekuensi, menurut saya, pilihan apapun sah-sah saja. Urusan dengan agama dan Tuhan, saya tidak bisa ikut-ikutan, karena itu hubungan personal seseorang dengan penciptanya.

Saturday, August 15, 2015

Hati Hari Ini

"Kamu bukan yang aku mau. Kamu adalah kesalahan yang seharusnya tidak aku buat, tiga tahun lalu," katamu penuh amarah dan ekspresi jijik yang tersirat.

Aku diam. Tak berbicara apa-apa, pun menitikkan air mata. Aku mendengar hatimu, bukan kata-katamu. Aku merasakan perihmu, bukan amarahku. Aku melihat jiwamu, bukan tudingan jari telunjukmu, di wajahku.

Aku tahu, malam itu, saat kata-kata itu keluar dari mulutmu, kamu tengah bertarung melawan ego dan gengsi semu yang meliputi hati dan pikiranmu. Itu sebabnya aku memilih memandang lurus ke dalam matamu, bukan menyerangmu, meski tanganku bergetar menahan keinginan untuk menampar.

Kamu. Laki-laki yang aku perjuangkan sepenuh hatiku, bertahun-tahun lalu. Laki-laki yang mempersembahkan janjinya untuk menjadikanku sebelah sayap untuk terbang ke surga bersama-sama. Laki-laki yang sukses menyentuh hatiku dan mengajarkan arti kelembutan dan kepekaan rasa. Laki-laki yang kubiarkan masuk dalam wilayah terdalam dan menduduki tempat teristimewa. Laki-laki yang meminangku dengan sejuta asa di matanya.

Malam itu. Kamu seolah beralih rupa, menjadi laki-laki yang penuh benci. Laki-laki yang satu-satunya keinginannya adalah pergi. Laki-laki yang mengingkari semua janji. Laki-laki yang sepenuh akal dan hati berniat menyakiti. Laki-laki yang tak lagi kenal bahasa hati. Laki-laki yang akhirnya membunuhku dengan bisa yang tak terperi. Laki-laki yang tak malu mengkhianati.

"Kamu bukan istri yang memenuhi harapanku. Kamu membuat aku bimbang harus memilih di antara dua, kamu atau dia," ujarmu gamblang mengungkap cinta untuk lain wanita.

Saat itu. Aku tak mendengar ucapmu, aku mencoba selami pikir dan rasa. Aku tak memandang wajahmu, aku mencoba mengintip jiwa lewat dua bola mata. Hingga aku tersadar, kamu sudah tak ada. Kamu yang aku cinta sudah menguap entah kemana. Hati dan jiwa itu, bukan lagi hati dan jiwa yang mengucap sumpah di hadapan Tuhan, untuk membangun mimpi dan kebahagiaan. Bola mata itu, bukan lagi bola mata yang mengantarkan senyuman. Kamu sudah bukan laki-laki itu lagi.

"Dia berhasil membuatmu jadi ksatria yang rela memperjuangkan apa saja demi mempersunting dirinya. Dia menyiramimu dengan bahagia yang selalu kamu damba dan puja. Dia membuatmu bangga. Saat kamu harus memilih antara aku atau dia, artinya kamu harus memilih dia, karena aku bukan pilihan, aku adalah kepastian yang tidak kamu inginkan. Pergilah padanya, tak usah cemas, aku sudah memaafkan," ujarku, saat akhirnya aku bisa melafal kata, setelah sekian lama bibir kelu karena mati rasa. Maka malam itu, adalah malam terakhir aku mengharapkanmu. Malam terakhir aku menahanmu dan mencoba mempertahankan cintaku.

Hari ini, 14 bulan setelah malam itu. Aku mendapati kamu telah memenangkan apa yang kamu inginkan. Mempersunting sang wanita idaman yang menjanjikan harapan kebahagiaan, hingga akhir zaman. Awalnya aku pikir aku akan kembali terluka mengetahuinya, ternyata tidak. Aku turut tersenyum bahagia melihat fotomu bersanding dengannya di pelaminan. Dalam hening aku mengucap doa, agar kamu dan dia bahagia mengarungi bahtera yang demikian mahal harganya. Sesungguhnya, aku lega, karena jawaban itu tiba juga.

Hari ini, 14 bulan setelah malam itu. Aku tahu bahwa aku sudah jadi lebih dewasa menghadapi dunia. Aku mengerti bahwa kini hati telah bebas dari amarah dan rasa benci, bahwa ini hanya bagian dari hidup yang harus aku jalani. Dan pemahaman ini membuatku lebih berani dan semakin meyakini bahwa aku bisa tempatkan hati dan kepala di udara, dengan dua kaki tetap di bumi.

(Ditulis dengan alunan piano dari lagu Dewa 19, "Cinta Kan Membawamu")