Friday, April 8, 2016

Rapuh

Aku tidak pernah menyangka, hati sedemikian rapuh. Bisa patah, bahkan sebelum jatuh.
Kamu adalah rindu yang kusebut dalam tabu. Kasih yang kubelai dalam perih.

"Tidak seharusnya kamu menempatkan diri di posisi itu," kata temanku.
"Posisi itu? Maksudmu?," tanyaku mengernyitkan kening, bersiap mengungkap tak setuju.
"Kamu berada di posisi yang tak bisa menghindar dari rapuh," kata temanku lagi.

Ia duduk mendekat hingga bahu kami bersentuhan. Diusapnya punggungku lembut, mencoba meredakan gemuruh yang tercermin dalam raut muka, yang mungkin tertangkap oleh matanya.

"Kamu baik, terlalu baik. Kamu kuat, terlalu kuat," lanjutnya.

Aku diam.

"Aku tahu kamu mampu, itu sebabnya kamu lebih memilih memberi daripada meminta. Kamu lebih memilih melihat senyumnya daripada senyum di wajahmu sendiri."

Aku menunduk menyembunyikan sendu.

"Dia itu bukan milikmu. Sebesar dunia pun cintamu, tak akan menjadikan dia milikmu. Pun ketika ia mengikrarkan rasa yang sama, tak ada bedanya. Tetap saja, dia dan kamu, tak punya asa."

Sesak mulai menekan dada dan kerongkongan.

"Saat ini kamu ditipu khayalmu sendiri. Kamu pikir dia akan melindungimu? Tidak. Dia tak punya kuasa. Dia hanya bisa berucap maaf, lalu berlalu. Atau dia hanya bisa melihatmu dalam lara menatap gores-gores luka. Dia tak akan bisa berbuat apa-apa."

Napasku mulai tersengal, karena berat terasa.

"Kamu akan selalu jadi urutan entah ke berapa dalam daftar manusia dalam hidupnya. Tak peduli seberapa kata diungkapnya untuk unjuk bahwa kamu istimewa. Pada akhirnya semua kosong belaka. Untukmu, dia tak akan ada."

Hawa panas seperti mengepung kelopak mata.

"Jika dia harus memilih orang yang harus dia sakiti untuk bertahan, dia akan memilihmu. Kamu adalah orang yang akan patah hatinya. Dan dapat kubayangkan, kamu akan dengan suka rela mematahkan hatimu, demi melihatnya baik-baik saja."

Tak tertahan lagi gelegak air mata memenuhi kantung mata.

"Ah, aku selalu bingung bagaimana kamu bisa melakukannya. Bagaimana kamu bisa merelakan semuanya lalu tak mengharap apa-apa. Kadang-kadang buatku itu tolol, tapi tak jarang pun akhirnya aku berdecak terpana karena kagum akan kuatnya kasih sayang yang kamu punya."

Punggungku mulai bergetar. Aku sesenggukan. Duniaku terasa goyah. Dia menyuarakan semua yang selama ini aku bungkam.

Aku menggenggam erat lengannya, meminta ia jangan dulu beranjak.

Diusapnya kepalaku dengan sayang. Direngkuhnya bahuku dengan sabar. Ia tahu, ia sudah tak perlu berkata apa-apa lagi.Ia tahu bahwa aku telah rapuh dan membutuhkannya untuk menumpahkan keluh. Meski tak lewat kata maupun aksara, melainkan lewat air mata.

Ia percaya, air mata adalah tanda bahwa hati masih ada.

(Ditulis sambil mendengarkan All I Ask by Leroy Sanchez)