Tuesday, January 22, 2019

Sepi

Aku berhenti berbicara soal rasa. Luka dan suka rasanya sama saja. Harap ini sudah berhenti, mungkin mati.

Mencoba sedemikian keras melihat dunia dari kacamata berbeda. Bahwa bahagia tidak selalu selaras dengan terwujudnya ingin menjadi nyata. Bahwa duka tak selamanya buruk rupa. Bahwa manusia adalah kumpulan gurat senyum dan air mata. Bahwa cinta adalah rasa yang tak bekerja dengan rumus beri dan terima.

Kadang hati bertanya, mampukah mengemban dunia hanya dengan dua tangan sekecil ini dan berdiri di atas dua kaki sendiri? Bisakah terbang dengan sayap hanya sebelah? Bisakah kepala menengadah sementara kaki kuat berpijak di tanah?

Bukankah jika bersama-sama, hidup akan lebih mudah?

Jawabannya ada ketika mematut pantulan diri di kaca. Melihat parut luka tak kasatmata, bukti perjuangan yang telah berhasil dimenangkan, meski sendirian.

Bulir air mata mengalir, membasuh khawatir.

Aku katakan padaku yang memandang balik dari dalam kaca, bahwa dia menyimpan makna lebih dari sejuta kata. Bahwa dunia sungguh beruntung dia ada. Bahwa sepi bukan racun dunia. Bahwa manusia-manusia dengan kuasa adalah manusia-manusia yang tak takut mengemban dunia dengan tangan dan kaki sendiri, terbang meski sayap hanya sebelah, menengadah tanpa lelah meski kaki tertanam di tanah.

Aku, dia, semestinya percaya. Bahwa peri lahir dari sepi.

(Ditulis berlatar alunan Pavane, Op. 50 - Marcel Depuis)