Tahukah kau, aku datang mengunjungi dan menatap wajahmu 70
kali dalam satu hari? Yaaah, kurang
lebih 20 menit sekali wajahmu dan wajahku berhadap-hadapan. Sayangnya, kau - seperti
halnya manusia lainnya - tak bisa melihat aku, sementara aku memandang jauh ke
dalam matamu.
Aku melihat senyummu, pun jadi saksi kepedihan hati dan air
matamu. Sejak kau dalam buaian, hingga puluhan tahun kemudian, kau tumbuh jadi
wanita dewasa. Akulah sejatinya saksi perjuangan.
Aku di sisimu, saat ayah dan ibu bergantian menghujanimu
dengan makian dan sumpah serapah. Aku di dekatmu, saat kau meraih gelar juara
kelas dan wajahmu berseri dengan kebanggaan. Aku tak jauh, saat hatimu hancur
berkeping-keping hingga kau tak mau lagi percaya pada cinta. Aku ada, saat
dokter memvonismu dengan kanker otak. Aku bersamamu.
Sekian tahun aku menyaksikan susah senang bergantian
mewarnai hidupmu, tak pernah aku melihat senyum semanis dan binar mata secerah
apa yang aku lihat di wajahmu, hari ini. Langkahmu cepat nyaris melompat.
Lenganmu mengayun bebas seperti menari. Rambutmu kau biarkan tergerai
berhamburan tertiup angin. Aku lahir tanpa hati. Tanpa emosi. Tapi aku tahu
beda luka dan suka cita. Kau hari ini, jelas tengah bahagia.
Kau tak henti tersenyum, bahkan setelah masuk dan duduk
dalam gerbong kereta yang biasa kau naiki untuk pulang. Senyum yang membuat
penumpang lain pun tak tahan untuk turut tersenyum atau kasak kusuk
berbisik-bisik, mungkin mengiramu gila. Seorang pria duduk di sebelahmu,
memandang wajahmu, turut tersenyum mengiringi senyummu, hingga tak tahan ia
bertanya, “Hai, aku perhatikan kau tak henti tersenyum sedari tadi, ada apakah
yang terjadi hari ini?”.
Kau menoleh. Kini wajahmu dan wajahnya berhadapan, dekat
sekali. Seperti saat wajahku dan wajahmu bertemu. Masih dengan senyum
terkembang di wajahmu, kau memberikan sebuah amplop kepada si pria. Memberi
isyarat agar ia membuka dan membacanya.
“Wow! A cancer
survivor!,” seru si pria setelah membaca hasil pemeriksaan, di dalam
amplop.
Kamu mengangguk kencang, masih dengan senyum terkembang.
Si pria pun memelukmu erat, menyatakan rasa turut bahagia.
Kau pun mulai membagi aneka rencana yang ingin kau lakukan untuk mensyukuri
nikmat usia dan hidup yang hanya sekali. Si pria bertepuk memberi semangat. Tanpa
terasa kebahagiaanmu mulai merambati hatinya, membuatnya bahagia juga. Saking
indahnya, hingga aku pun tersenyum menyaksikannya.
Kereta pun mendekati stasiun tempatmu turun. Kau bersiap mengucap selamat tinggal pada si pria, setelah kalian bertukar nama dan nomor telepon. Keretamu tak berhenti lama, kau beranjak setengah berlari, tak menyadari tumpukan kardus di sisi pintu.
Kau tersandung, tubuhmu limbung.Terjatuh tepat saat pintu kereta tertutup dan menjepit sebelah kakimu. Tubuhmu terseret, saat kereta mulai berjalan. Seluruh penumpang berteriak meminta masinis menghentikan kereta. Sayangnya, kereta tak seperti sepeda yang bisa berhenti seketika. Saat kereta akhirnya berhenti, kau sudah terlanjur terseret beberapa meter jauhnya.
Wajah bersimbah darah. Beberapa tulang di bagian tubuh, patah. Napas tersengal mencoba bertahan.
Di ujung waktu, barulah kau - seperti halnya manusia lainnya - bisa melihatku. Aku masih menampilkan senyum yang kudapat dari melihat senyummu.
Bibirmu lirih bertanya, "Mengapa?"
Aku meraih tanganmu, membelai kepalamu. Aku lahir tanpa hati. Tanpa emosi. Aku hanya berjaga untuk mencabut nyawa, ketika waktunya tiba. Persoalan mengapa adalah misteri yang aku pun tak punya jawabannya.
"Tuhanmu memanggilmu," jawabku.