Meskipun saya belum pernah benar-benar berbicara langsung pada anak perempuan (anaknya juga belum ada dan entah kapan ada), tapi saat menulis surat ini saja terasa emosi yang berbeda, dibandingkan saat menulis surat kepada anak laki-laki. Berbicara pada anak perempuan seperti berbicara pada diri sendiri, sehingga pergulatan emosinya lebih terasa.
Oh iya, mungkin ini sesungguhnya detil yang tidak penting, tapi biarlah saya katakan. Saya ingin dipanggil "ibu" oleh anak-anak saya nanti. Tidak ada alasan khusus, rasanya lebih sederhana dan down to earth saja. Berikut surat saya sebagai "ibu" kepada anak perempuan saya:
Dear anak perempuanku,
Pernah ada seorang teman ibu,
pemimpin redaksi sebuah surat kabar harian, berkata pada ibu, “Beruntunglah
kita yang terlahir sebagai perempuan, kita memiliki banyak sekali keistimewaan
dan keunggulan. Apapun tantangan yang ada di dunia ini, perempuan selalu bisa
mengatasi. Kita ini hebat.”
Putriku sayang, teman ibu itu
benar. Terlahir sebagai perempuan adalah anugerah besar. Jika laki-laki
ditunjuk sebagai pemimpin atau imam, perempuan adalah kekuatan penyeimbang.
Tugas perempuan adalah menopang apa-apa yang mulai goyah dan timpang. Pemimpin
dan penyeimbang adalah dua kekuatan yang sama, tak satu pun mengalahkan yang
satunya. Dua-duanya harus ada di dunia.
Mengapa ibu membuka surat ini
dengan memberitahumu bahwa perempuan tak kalah istimewa dari laki-laki, bahkan
kalian dilahirkan dengan peran yang sama pentingnya? Ibu tak ingin anak
perempuan ibu menjadi kecil karena didesak paham yang mengatakan bahwa fitrah perempuan
adalah di bawah laki-laki. Ibu tak ingin anak perempuan ibu tumbuh dalam
kebingungan, dimana mereka dituntut untuk menjadi pintar tapi jangan terlalu
pintar, mandiri tapi jangan terlalu mandiri, kuat tapi jangan terlalu kuat.
Nak, kamu punya hak yang sama
dengan laki-laki untuk berkembang dan maju. Menjadi banggalah atas dirimu
sendiri. Menjadi hebatlah atas kemampuan dan kemauanmu sendiri. Perempuan
diciptakan dari rusuk laki-laki, karena perempuan ditakdirkan berada bersisian
dengan laki-laki. Menopang saat mereka limbung, menguatkan saat mereka lemah,
menjadi hati saat mereka berlaku tanpa emosi, menjadi logika saat mereka
bertindak hanya dengan rasa. Menurutmu, perempuan seperti apa yang bisa
menjalankan peran seperti itu? Perempuan yang hebat.
Feminisme? Tidak. Ibu tidak
mengajarkanmu soal feminisme atau kesetaraan gender. Ibu mengajarkanmu menjadi
manusia yang sama dengan siapa saja. Manusia yang saling menghormati dengan
sesamanya, apapun jenis kelaminnya, berapapun umurnya, betapapun berbeda
keadaannya. Ibu tentu akan marah jika kamu lalu mengecilkan laki-laki, karena
kamu merasa lebih hebat dari mereka. Sama seperti ibu akan marah pada laki-laki
yang merendahkanmu karena merasa dirinya harus lebih tinggi darimu.
Jika suatu hari ada laki-laki
yang mengerti bagaimana membuatmu merasa bangga dan nyaman dengan dirimu,
menghormatimu seperti menghormati perempuan-perempuan lain dalam hidupnya, ibu
ingin bertemu dengannya. Mungkin dia adalah laki-laki yang Tuhan tunjuk untuk
jadi penjagamu sepanjang hayatnya, menggantikan peran ibu.
Setelah kamu mengerti posisi dan
peranmu, berangkatlah dari situ untuk melakukan yang terbaik yang kamu bisa
untuk hidupmu. Jadilah penyeimbang untuk siapa saja. Memberilah sebanyak kamu
bisa, karena semakin banyak memberi, semakin banyak yang akan kamu dapati.
Putriku sayang, ibu tidak akan
membekalimu dengan kunci hidup bahagia, karena sejujurnya ibu tidak punya, dan
memang tidak pernah ada yang punya. Jika banyak orang tua akan mendoakan
anak-anak mereka untuk bahagia selama hidupnya, sayangnya ibu tidak bisa. Ibu
akan mendoakan agar anak-anak ibu tumbuh menjadi anak yang kuat dan pantang
menyerah.
Selama kita masih hidup di dunia,
tidak ada satu pun yang abadi, pun demikian dengan kebahagiaan. Kamu tidak akan
mungkin bisa bahagia selamanya, pun tidak akan mungkin berduka selamanya.
Bahagia dan tidak bahagia akan datang bergantian, maka kamu harus bisa
mengatasi keduanya. Bagaimana caranya? Syukur dan ikhlas.
Menerima apapun yang terjadi
padamu sebagai bagian dari perjalanan hidup bukanlah perkara mudah. Mungkin
kamu akan merasakan luka terdalam hingga rasanya sakit tak berkesudahan,
rasakanlah. Mungkin kamu akan merasakan sesak di dada yang membuat air mata
seolah tak mau mengering, menangislah. Mungkin kamu akan merasakan kaki lemah
tak berdaya, istirahatlah. Terimalah bahwa manusia pada dasarnya lemah.
Terimalah bahwa ini adalah bagian dari hidupmu di dunia. Basuh wajah dengan air
wudhu, bersimpuh dan bersujudlah, akui kelemahanmu pada Yang Maha Kuat,
hadapkan wajahmu pada-Nya, mengadu dan meminta.Setelah itu berjalanlah lagi,
temukanlah lagi apa-apa yang kamu cari.
Kamu akan bertemu dengan
orang-orang yang beragam sifat dan karakternya. Tidak semuanya orang baik.
Tidak semuanya mengerti bagaimana harus berlaku dan bersikap terhadap orang
lain. Tidak semuanya bisa diajak saling menghormati dan menghargai. Bahkan
mungkin kamu akan lebih banyak bertemu mereka yang menyakiti dan mengecewakan.
Meski demikian tetaplah berbuat baik, tetaplah menghormati, tetaplah santun
dalam bersikap dan bertingkah laku. Maka kamu akan hidup tenang mengetahui kamu
telah melakukan yang terbaik.
Perhiasan dunia kesayangan ibu,
yang ibu katakan dalam surat ini hanyalah serangkaian kata dan pesan dari
pengalaman. Pada akhirnya, kamu harus menjalani hidup ini sendiri, dengan
tangan dan kakimu sendiri. Berpikir dengan logika, merasa dengan hatimu
sendiri. Harapan ibu, apa yang kamu baca di surat ini akan membantumu
mempertimbangkan apa yang akan kamu lakukan.
Lewat surat ini pula ibu ingin
berkata bahwa selamanya kamu adalah anak perempuan ibu, putri kesayangan ibu
yang akan selalu di hati dan pikiran. Ingatlah selalu bahwa kapanpun kamu butuh
pangkuan untuk mengistirahatkan kepala sebentar, pelukan untuk melepaskan penat
sesaat, pulanglah pada ibu. Pangkuan dan pelukan ibu tidak akan pernah hilang
darimu, karena mereka adalah milikmu selalu.
Kecup peluk sayang selalu untukmu,
-ibu-