Sunday, December 8, 2019

Ketika Tuhan Berkhianat


Pernahkah kau merasa kecewa, karena Tuhanmu telah mengkhianatimu?

Berpuluh tahun usia, kau mempercayai bahwa hal-hal baik terjadi pada orang baik, maka demikianlah kau membangun hidupmu. Berusaha tak menyakiti orang lain, berbuat baik meski tak berbalas baik, melakukan hanya yang baik-baik. Nyatanya, tak berujung bahagia.

Sementara di luar sana, orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, peduli setan dengan perasaan orang lain, hidup penuh tawa, kebebasan, dan bahagia. Kau? Meringkuk sendirian dalam sepi dan ketakutan yang tak kunjung pergi.

“Di mana janji Tuhan itu?,” Tanyamu.

Kau berhenti berharap, berhenti meminta, berhenti berdoa.
Jika zat yang paling kau percaya memegang janjinya saja, ingkar, kepada siapa lagi mencurahkan hati?

Jangan menyerah, kata mereka.
Kau sedang diuji, kata mereka.
Semua terjadi pasti ada hikmahnya, kata mereka.

Ya, ya, ya, aku pernah mempercayainya, sepenuh hati dan jiwa, tapi tak ada buktinya.

Bertahun meyakini bahwa kebaikan hati membawa kebahagiaan, itu pasti. Kini hanya perih rasa dikhianati.

Jutaan bulir air mata tertumpah dan ribuan permohonan doa terlontar dengan petah, hanya berujung sia-sia.

Tuhan, jikalah Kau memang mendengar jeritan hati ini meminta, dengarkanlah. Tunjukkanlah bahwa Kau ada.
Aku tak ingin durhaka, aku ingin percaya.
Tapi aku pun tak ingin kecewa.

Cukuplah lukaku karena manusia.
Rengkuhlah aku, bawa aku kembali pada-Mu.
Tunjukkan kuasa-Mu, sekali lagi. 


Tuesday, January 22, 2019

Sepi

Aku berhenti berbicara soal rasa. Luka dan suka rasanya sama saja. Harap ini sudah berhenti, mungkin mati.

Mencoba sedemikian keras melihat dunia dari kacamata berbeda. Bahwa bahagia tidak selalu selaras dengan terwujudnya ingin menjadi nyata. Bahwa duka tak selamanya buruk rupa. Bahwa manusia adalah kumpulan gurat senyum dan air mata. Bahwa cinta adalah rasa yang tak bekerja dengan rumus beri dan terima.

Kadang hati bertanya, mampukah mengemban dunia hanya dengan dua tangan sekecil ini dan berdiri di atas dua kaki sendiri? Bisakah terbang dengan sayap hanya sebelah? Bisakah kepala menengadah sementara kaki kuat berpijak di tanah?

Bukankah jika bersama-sama, hidup akan lebih mudah?

Jawabannya ada ketika mematut pantulan diri di kaca. Melihat parut luka tak kasatmata, bukti perjuangan yang telah berhasil dimenangkan, meski sendirian.

Bulir air mata mengalir, membasuh khawatir.

Aku katakan padaku yang memandang balik dari dalam kaca, bahwa dia menyimpan makna lebih dari sejuta kata. Bahwa dunia sungguh beruntung dia ada. Bahwa sepi bukan racun dunia. Bahwa manusia-manusia dengan kuasa adalah manusia-manusia yang tak takut mengemban dunia dengan tangan dan kaki sendiri, terbang meski sayap hanya sebelah, menengadah tanpa lelah meski kaki tertanam di tanah.

Aku, dia, semestinya percaya. Bahwa peri lahir dari sepi.

(Ditulis berlatar alunan Pavane, Op. 50 - Marcel Depuis)

Sunday, January 29, 2017

Ironi

Tahukah kau, aku datang mengunjungi dan menatap wajahmu 70 kali dalam satu hari? Yaaah, kurang lebih 20 menit sekali wajahmu dan wajahku berhadap-hadapan. Sayangnya, kau - seperti halnya manusia lainnya - tak bisa melihat aku, sementara aku memandang jauh ke dalam matamu.

Aku melihat senyummu, pun jadi saksi kepedihan hati dan air matamu. Sejak kau dalam buaian, hingga puluhan tahun kemudian, kau tumbuh jadi wanita dewasa. Akulah sejatinya saksi perjuangan.
Aku di sisimu, saat ayah dan ibu bergantian menghujanimu dengan makian dan sumpah serapah. Aku di dekatmu, saat kau meraih gelar juara kelas dan wajahmu berseri dengan kebanggaan. Aku tak jauh, saat hatimu hancur berkeping-keping hingga kau tak mau lagi percaya pada cinta. Aku ada, saat dokter memvonismu dengan kanker otak. Aku bersamamu.

Sekian tahun aku menyaksikan susah senang bergantian mewarnai hidupmu, tak pernah aku melihat senyum semanis dan binar mata secerah apa yang aku lihat di wajahmu, hari ini. Langkahmu cepat nyaris melompat. Lenganmu mengayun bebas seperti menari. Rambutmu kau biarkan tergerai berhamburan tertiup angin. Aku lahir tanpa hati. Tanpa emosi. Tapi aku tahu beda luka dan suka cita. Kau hari ini, jelas tengah bahagia.

Kau tak henti tersenyum, bahkan setelah masuk dan duduk dalam gerbong kereta yang biasa kau naiki untuk pulang. Senyum yang membuat penumpang lain pun tak tahan untuk turut tersenyum atau kasak kusuk berbisik-bisik, mungkin mengiramu gila. Seorang pria duduk di sebelahmu, memandang wajahmu, turut tersenyum mengiringi senyummu, hingga tak tahan ia bertanya, “Hai, aku perhatikan kau tak henti tersenyum sedari tadi, ada apakah yang terjadi hari ini?”.

Kau menoleh. Kini wajahmu dan wajahnya berhadapan, dekat sekali. Seperti saat wajahku dan wajahmu bertemu. Masih dengan senyum terkembang di wajahmu, kau memberikan sebuah amplop kepada si pria. Memberi isyarat agar ia membuka dan membacanya.

“Wow! A cancer survivor!,” seru si pria setelah membaca hasil pemeriksaan, di dalam amplop.

Kamu mengangguk kencang, masih dengan senyum terkembang.

Si pria pun memelukmu erat, menyatakan rasa turut bahagia. Kau pun mulai membagi aneka rencana yang ingin kau lakukan untuk mensyukuri nikmat usia dan hidup yang hanya sekali. Si pria bertepuk memberi semangat. Tanpa terasa kebahagiaanmu mulai merambati hatinya, membuatnya bahagia juga. Saking indahnya, hingga aku pun tersenyum menyaksikannya.

Kereta pun mendekati stasiun tempatmu turun. Kau bersiap mengucap selamat tinggal pada si pria, setelah kalian bertukar nama dan nomor telepon. Keretamu tak berhenti lama, kau beranjak setengah berlari, tak menyadari tumpukan kardus di sisi pintu. 

Kau tersandung, tubuhmu limbung.Terjatuh tepat saat pintu kereta tertutup dan menjepit sebelah kakimu. Tubuhmu terseret, saat kereta mulai berjalan. Seluruh penumpang berteriak meminta masinis menghentikan kereta. Sayangnya, kereta tak seperti sepeda yang bisa berhenti seketika. Saat kereta akhirnya berhenti, kau sudah terlanjur terseret beberapa meter jauhnya. 

Wajah bersimbah darah. Beberapa tulang di bagian tubuh, patah. Napas tersengal mencoba bertahan. 

Di ujung waktu, barulah kau - seperti halnya manusia lainnya - bisa melihatku. Aku masih menampilkan senyum yang kudapat dari melihat senyummu. 

Bibirmu lirih bertanya, "Mengapa?"

Aku meraih tanganmu, membelai kepalamu. Aku lahir tanpa hati. Tanpa emosi. Aku hanya berjaga untuk mencabut nyawa, ketika waktunya tiba. Persoalan mengapa adalah misteri yang aku pun tak punya jawabannya. 

"Tuhanmu memanggilmu," jawabku.



Friday, April 8, 2016

Rapuh

Aku tidak pernah menyangka, hati sedemikian rapuh. Bisa patah, bahkan sebelum jatuh.
Kamu adalah rindu yang kusebut dalam tabu. Kasih yang kubelai dalam perih.

"Tidak seharusnya kamu menempatkan diri di posisi itu," kata temanku.
"Posisi itu? Maksudmu?," tanyaku mengernyitkan kening, bersiap mengungkap tak setuju.
"Kamu berada di posisi yang tak bisa menghindar dari rapuh," kata temanku lagi.

Ia duduk mendekat hingga bahu kami bersentuhan. Diusapnya punggungku lembut, mencoba meredakan gemuruh yang tercermin dalam raut muka, yang mungkin tertangkap oleh matanya.

"Kamu baik, terlalu baik. Kamu kuat, terlalu kuat," lanjutnya.

Aku diam.

"Aku tahu kamu mampu, itu sebabnya kamu lebih memilih memberi daripada meminta. Kamu lebih memilih melihat senyumnya daripada senyum di wajahmu sendiri."

Aku menunduk menyembunyikan sendu.

"Dia itu bukan milikmu. Sebesar dunia pun cintamu, tak akan menjadikan dia milikmu. Pun ketika ia mengikrarkan rasa yang sama, tak ada bedanya. Tetap saja, dia dan kamu, tak punya asa."

Sesak mulai menekan dada dan kerongkongan.

"Saat ini kamu ditipu khayalmu sendiri. Kamu pikir dia akan melindungimu? Tidak. Dia tak punya kuasa. Dia hanya bisa berucap maaf, lalu berlalu. Atau dia hanya bisa melihatmu dalam lara menatap gores-gores luka. Dia tak akan bisa berbuat apa-apa."

Napasku mulai tersengal, karena berat terasa.

"Kamu akan selalu jadi urutan entah ke berapa dalam daftar manusia dalam hidupnya. Tak peduli seberapa kata diungkapnya untuk unjuk bahwa kamu istimewa. Pada akhirnya semua kosong belaka. Untukmu, dia tak akan ada."

Hawa panas seperti mengepung kelopak mata.

"Jika dia harus memilih orang yang harus dia sakiti untuk bertahan, dia akan memilihmu. Kamu adalah orang yang akan patah hatinya. Dan dapat kubayangkan, kamu akan dengan suka rela mematahkan hatimu, demi melihatnya baik-baik saja."

Tak tertahan lagi gelegak air mata memenuhi kantung mata.

"Ah, aku selalu bingung bagaimana kamu bisa melakukannya. Bagaimana kamu bisa merelakan semuanya lalu tak mengharap apa-apa. Kadang-kadang buatku itu tolol, tapi tak jarang pun akhirnya aku berdecak terpana karena kagum akan kuatnya kasih sayang yang kamu punya."

Punggungku mulai bergetar. Aku sesenggukan. Duniaku terasa goyah. Dia menyuarakan semua yang selama ini aku bungkam.

Aku menggenggam erat lengannya, meminta ia jangan dulu beranjak.

Diusapnya kepalaku dengan sayang. Direngkuhnya bahuku dengan sabar. Ia tahu, ia sudah tak perlu berkata apa-apa lagi.Ia tahu bahwa aku telah rapuh dan membutuhkannya untuk menumpahkan keluh. Meski tak lewat kata maupun aksara, melainkan lewat air mata.

Ia percaya, air mata adalah tanda bahwa hati masih ada.

(Ditulis sambil mendengarkan All I Ask by Leroy Sanchez)

Monday, October 12, 2015

She

One thing that I can never stop noticing from her is how easy she became excited about everything, even the smallest things that come in her way. The things that for me, and maybe for most people, look so ordinary and even dreary.

I asked her once about this, and the answer was struck me in the heart, up until now. With a smile in her face, she said;

"Nothing's last forever. Good things don't last forever, nor bad things. I easily excited about things because I want to embrace anything that has, is, and will happen. I always believe that even the things that you think is so ordinary has potential to make you happy, try to see it in different way."

This girl will never stops captivating me. Just being around her is making me comfortable. I really hope she'll find eternal happiness in life, as she is a sweet little creature with a big heart.