Saturday, December 6, 2014

Closure

When you left a relationship, always aim for a clean break.
Avoid open wound, since each and every human being worth a closure. A proper one.

Dalam salah satu artikel yang saya baca, saat saya mencari informasi tentang pentingnya closure bagi manusia, saya menemukan bahwa secara alami otak manusia akan mencari penjelasan untuk segala hal yang terjadi dalam hidup mereka. Sebagai contoh, saat kita melihat empat buah titik di atas sebuah bidang, masing-masing ditempatkan di kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kanan atas, secara otomatis otak kita akan menggambar bentuk segi empat, padahal empat buah titik tadi sebenarnya bisa membentuk apa saja. Itu adalah usaha otak kita untuk memberikan closure dan menutup jarak antara ketidaktahuan kita dengan fenomena yang terjadi.

Maaf jika penjelasan di atas membuat kening berkerut, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut, kok. Pembahasan mengenai closure di atas sesungguhnya dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa hal yang sama juga terjadi dalam sebuah hubungan antar manusia. Saat hubungan berakhir, patah hati terjadi, maka tanpa disadari dua manusia yang terlibat dalam hubungan tadi akan mencari penjelasan penutup (closure) untuk membantu mereka benar-benar menyadari dan menerima bahwa hubungan telah berakhir. Biasanya yang paling membutuhkan adalah pihak yang ditinggalkan, dan yang "berkewajiban" untuk memberikan adalah yang meninggalkan.

Kabar buruknya, tidak semua hubungan yang berakhir menghasilkan closure yang memuaskan, lebih buruk lagi, bahkan banyak juga hubungan yang tidak mendapatkan closure sama sekali. Lantas jika ini terjadi, apa yang akan otak lakukan? Otak tidak akan menyerah, sudah menjadi tugasnya untuk mencari penjelasan demi menutup jarak antara ketidaktahuan dengan realita yang terjadi di depan mata. Akhirnya, lahirlah over think dan over analyze yang mana sesungguhnya teramat menyiksa dan bisa berakibat buruk pada psikologis seseorang. Tidak sedikit yang akhirnya menimbulkan depresi berat.

Baru saja, saya selesai menonton film Her, yang menceritakan hubungan seorang laki-laki yang patah hati akibat perceraian dengan sang istri, kemudian berkenalan dan menjalin hubungan dengan Artificial Intelligent Operating System. Terdengar geeky dan aneh memang, tapi ini sebenarnya film drama. Alasan saya menyinggung film ini adalah, saya menemukan sebuah contoh closure, yang menurut saya indah, tulus, dan - walaupun mungkin tidak bisa meredakan pedihnya patah hati - cukup bisa membuat lawan bicaranya dihargai.

Sebuah surat yang ditulis oleh sang pemeran utama kepada mantan istrinya:

Dear Catherine,  
I've been sitting here thinking about all the things I wanted to apologize to you for.  
All the pain we caused each other. Everything I put on you. Everything I needed you to be or needed you to say. I'm sorry for that.  
I'll always love you, cause we grew up together and you helped make me who I am.  
I just wanted you to know there will be a piece of you in me always, and I'm grateful for that. Whatever someone you become, and wherever you are in the world, I'm sending you love. You're my friend to the end. 
Love, 
Theodore.

Bagaimanapun akhir sebuah hubungan, hampir dipastikan akan menyisakan luka. Sebuah akhir (closure) yang baik setidaknya dapat meringankan beban rasa dan pikiran. Sebuah bentuk penghargaan untuk kisah yang pernah tertulis sebelumnya. Cinta atau tidak lagi cinta bukanlah alasan untuk tidak menghargai perasaan orang lain. Closure yang baik pun menghindarkan dari resiko depresi dan segala akibat yang ditimbulkannya.

Ada yang sedang merencanakan mengakhiri sebuah hubungan mungkin? Remember to always aim for a clean break, berikan "hadiah" terakhir yang baik, closure.

Sunday, November 9, 2014

Cinta dan Doa

Saat otakku tak sibuk, kadang aku mengajak angan kembali ke setahun lalu. Seandainya kamu tidak menyakitiku sedemikian rupa, menghancurkan hati dan rasa hingga tak bersisa, mungkin sekarang kita masih bisa duduk bersama, bicara dan tertawa atas canda, meski bukan sebagai pasangan. Tapi mungkin juga tidak.

Aku mencintaimu saat itu, dan masih terasa hingga kini, jika tidak tak mungkin aku masih merindukan pelukanmu. Jika bukan karena cinta yang masih terasa, tak mungkin aku masih menitikkan air mata saat mengingatmu. Tapi aku tidak lagi menginginkanmu, aku sudah melepaskanmu dengan cita-cita bahagiamu tanpa aku. Doaku menyertaimu selalu. Aku selalu berharap Tuhan menganugerahimu dengan mengabulkan segala doamu. Bukankah kerinduan sejati adalah ketika dalam diam kita menyebut namanya dalam doa?

Tak henti aku mencaci diri sendiri. Menuding kebodohan karena tak mampu jadi perempuan yang kamu harapkan. Hingga kini, masih ada kala dimana aku harus bersembunyi di balik tawa, menahan air mata yang memaksa keluar saat aku mengingatmu. Lebih sulit melepaskan diri dari jerat rasa bersalah daripada merelakan kamu pergi. Aku tahu tak mudah menyembuhkan luka sedalam ini. Aku tahu dalam perjalanannya akan ada aral yang harus aku lewati. Keyakinan bahwa Tuhan tidak buta dan mendengar semua permohonan, selalu berhasil membuatku bertahan.

Cinta memang misteri yang sulit terpecahkan. Ada yang bilang seharusnya cinta itu sederhana. Kenyataannya lebih banyak yang terjerat dalam rumitnya dan akhirnya terjebak dalam luka akibat rasa yang tak tersampaikan, atau janji yang tak terbukti.

Aku tidak dendam. Aku terlalu mencintai untuk bisa membenci. Sesungguhnya aku sudah memaafkan. Tapi aku kesulitan mengembalikan kepercayaan, bahkan untuk menjadi teman. Aku pun berharap bisa bertemu muka denganmu tanpa canggung, bertukar senyum tanpa takut, saling bicara tanpa menyimpan kenangan, tapi untuk dua orang yang pernah menjalin rasa selama 10 tahun, lalu harus berhenti karena tersakiti, hal-hal tadi rasanya masih jauh dari bisa diwujudkan.

Aku berharap pada diri sendiri, semoga setelah tahun berganti, masa berlalu, saat luka ini telah reda sakitnya, saat bekasnya telah menipis dan memudar, kita bisa bertemu lagi dalam suasana berbeda. Semoga saat itu aku telah berhasil melepas rasa bersalah dan kamu sudah meraih cita-cita yang kamu idamkan. Begitulah, kini cintaku menjelma jadi doa.   


*iringan alunan lagu Jejak Langkah dari Glenn Fredly dan Tohpati menambah dalam emosi yang terasa, saat menuliskan setiap kata di tulisan ini.

Sunday, October 12, 2014

Surat untuk Anak Perempuanku

Kemarin saya sudah publish surat yang dialamatkan kepada anak laki-laki saya nanti. Berikutnya adalah surat yang saya alamatkan kepada anak perempuan saya. 

Meskipun saya belum pernah benar-benar berbicara langsung pada anak perempuan (anaknya juga belum ada dan entah kapan ada), tapi saat menulis surat ini saja terasa emosi yang berbeda, dibandingkan saat menulis surat kepada anak laki-laki. Berbicara pada anak perempuan seperti berbicara pada diri sendiri, sehingga pergulatan emosinya lebih terasa. 

Oh iya, mungkin ini sesungguhnya detil yang tidak penting, tapi biarlah saya katakan. Saya ingin dipanggil "ibu" oleh anak-anak saya nanti. Tidak ada alasan khusus, rasanya lebih sederhana dan down to earth saja. Berikut surat saya sebagai "ibu" kepada anak perempuan saya:


Dear anak perempuanku,

Pernah ada seorang teman ibu, pemimpin redaksi sebuah surat kabar harian, berkata pada ibu, “Beruntunglah kita yang terlahir sebagai perempuan, kita memiliki banyak sekali keistimewaan dan keunggulan. Apapun tantangan yang ada di dunia ini, perempuan selalu bisa mengatasi. Kita ini hebat.”

Putriku sayang, teman ibu itu benar. Terlahir sebagai perempuan adalah anugerah besar. Jika laki-laki ditunjuk sebagai pemimpin atau imam, perempuan adalah kekuatan penyeimbang. Tugas perempuan adalah menopang apa-apa yang mulai goyah dan timpang. Pemimpin dan penyeimbang adalah dua kekuatan yang sama, tak satu pun mengalahkan yang satunya. Dua-duanya harus ada di dunia.

Mengapa ibu membuka surat ini dengan memberitahumu bahwa perempuan tak kalah istimewa dari laki-laki, bahkan kalian dilahirkan dengan peran yang sama pentingnya? Ibu tak ingin anak perempuan ibu menjadi kecil karena didesak paham yang mengatakan bahwa fitrah perempuan adalah di bawah laki-laki. Ibu tak ingin anak perempuan ibu tumbuh dalam kebingungan, dimana mereka dituntut untuk menjadi pintar tapi jangan terlalu pintar, mandiri tapi jangan terlalu mandiri, kuat tapi jangan terlalu kuat.

Nak, kamu punya hak yang sama dengan laki-laki untuk berkembang dan maju. Menjadi banggalah atas dirimu sendiri. Menjadi hebatlah atas kemampuan dan kemauanmu sendiri. Perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki, karena perempuan ditakdirkan berada bersisian dengan laki-laki. Menopang saat mereka limbung, menguatkan saat mereka lemah, menjadi hati saat mereka berlaku tanpa emosi, menjadi logika saat mereka bertindak hanya dengan rasa. Menurutmu, perempuan seperti apa yang bisa menjalankan peran seperti itu? Perempuan yang hebat.

Feminisme? Tidak. Ibu tidak mengajarkanmu soal feminisme atau kesetaraan gender. Ibu mengajarkanmu menjadi manusia yang sama dengan siapa saja. Manusia yang saling menghormati dengan sesamanya, apapun jenis kelaminnya, berapapun umurnya, betapapun berbeda keadaannya. Ibu tentu akan marah jika kamu lalu mengecilkan laki-laki, karena kamu merasa lebih hebat dari mereka. Sama seperti ibu akan marah pada laki-laki yang merendahkanmu karena merasa dirinya harus lebih tinggi darimu.

Jika suatu hari ada laki-laki yang mengerti bagaimana membuatmu merasa bangga dan nyaman dengan dirimu, menghormatimu seperti menghormati perempuan-perempuan lain dalam hidupnya, ibu ingin bertemu dengannya. Mungkin dia adalah laki-laki yang Tuhan tunjuk untuk jadi penjagamu sepanjang hayatnya, menggantikan peran ibu.

Setelah kamu mengerti posisi dan peranmu, berangkatlah dari situ untuk melakukan yang terbaik yang kamu bisa untuk hidupmu. Jadilah penyeimbang untuk siapa saja. Memberilah sebanyak kamu bisa, karena semakin banyak memberi, semakin banyak yang akan kamu dapati.

Putriku sayang, ibu tidak akan membekalimu dengan kunci hidup bahagia, karena sejujurnya ibu tidak punya, dan memang tidak pernah ada yang punya. Jika banyak orang tua akan mendoakan anak-anak mereka untuk bahagia selama hidupnya, sayangnya ibu tidak bisa. Ibu akan mendoakan agar anak-anak ibu tumbuh menjadi anak yang kuat dan pantang menyerah.

Selama kita masih hidup di dunia, tidak ada satu pun yang abadi, pun demikian dengan kebahagiaan. Kamu tidak akan mungkin bisa bahagia selamanya, pun tidak akan mungkin berduka selamanya. Bahagia dan tidak bahagia akan datang bergantian, maka kamu harus bisa mengatasi keduanya. Bagaimana caranya? Syukur dan ikhlas.

Menerima apapun yang terjadi padamu sebagai bagian dari perjalanan hidup bukanlah perkara mudah. Mungkin kamu akan merasakan luka terdalam hingga rasanya sakit tak berkesudahan, rasakanlah. Mungkin kamu akan merasakan sesak di dada yang membuat air mata seolah tak mau mengering, menangislah. Mungkin kamu akan merasakan kaki lemah tak berdaya, istirahatlah. Terimalah bahwa manusia pada dasarnya lemah. Terimalah bahwa ini adalah bagian dari hidupmu di dunia. Basuh wajah dengan air wudhu, bersimpuh dan bersujudlah, akui kelemahanmu pada Yang Maha Kuat, hadapkan wajahmu pada-Nya, mengadu dan meminta.Setelah itu berjalanlah lagi, temukanlah lagi apa-apa yang kamu cari.

Kamu akan bertemu dengan orang-orang yang beragam sifat dan karakternya. Tidak semuanya orang baik. Tidak semuanya mengerti bagaimana harus berlaku dan bersikap terhadap orang lain. Tidak semuanya bisa diajak saling menghormati dan menghargai. Bahkan mungkin kamu akan lebih banyak bertemu mereka yang menyakiti dan mengecewakan. Meski demikian tetaplah berbuat baik, tetaplah menghormati, tetaplah santun dalam bersikap dan bertingkah laku. Maka kamu akan hidup tenang mengetahui kamu telah melakukan yang terbaik.

Perhiasan dunia kesayangan ibu, yang ibu katakan dalam surat ini hanyalah serangkaian kata dan pesan dari pengalaman. Pada akhirnya, kamu harus menjalani hidup ini sendiri, dengan tangan dan kakimu sendiri. Berpikir dengan logika, merasa dengan hatimu sendiri. Harapan ibu, apa yang kamu baca di surat ini akan membantumu mempertimbangkan apa yang akan kamu lakukan.

Lewat surat ini pula ibu ingin berkata bahwa selamanya kamu adalah anak perempuan ibu, putri kesayangan ibu yang akan selalu di hati dan pikiran. Ingatlah selalu bahwa kapanpun kamu butuh pangkuan untuk mengistirahatkan kepala sebentar, pelukan untuk melepaskan penat sesaat, pulanglah pada ibu. Pangkuan dan pelukan ibu tidak akan pernah hilang darimu, karena mereka adalah milikmu selalu.

Kecup peluk sayang selalu untukmu,



                         -ibu-

Saturday, October 11, 2014

Surat untuk Anak Lelakiku

Saat di perjalanan pulang, di dalam taxi, sendirian, mendengarkan alunan musik yang saya sendiri sudah lupa judulnya. Tiba-tiba terbersit keinginan berbicara pada anak-anak saya, yang mungkin baru akan ada (lahir atau adopsi) beberapa tahun lagi, atau mungkin tak akan pernah ada. Mendadak muncul keinginan bicara panjang lebar, menceritakan tentang hidup dan dunia, pada mereka. 

Sesampainya di rumah, meski sudah menginjak tengah malam, saya memaksakan diri menulis sebuah surat yang dialamatkan kepada anak-anak saya nanti. Saya buat dua versi, surat untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Berikut ini adalah surat yang saya tulis untuk anak laki-laki saya nanti. Surat untuk anak perempuan, Insya Allah, akan saya publish besok. 

Dalam file Microsoft Word surat ini memakan dua halaman A4, maka saya yakin dalam bentuk blog post akan jadi sebuah artikel yang panjang. Peringatan awal saja bagi siapapun yang kebetulan mampir ke sini.


Dear anak lelakiku,

Banyaklah berbuat salah, banyaklah membuat ibu marah. Ibu tidak mengharapkan anak lelaki yang sempurna, tampan dan cemerlang budi pekertinya. Ibu ingin melihatmu tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Pribadi yang bijaksana karena ditempa pengalaman, termasuk di dalamnya pengalaman menjadi salah dan membuat ibu marah, gagal dan membuat ibu kesal.

Anak lelakiku, kesalahan dan kegagalan adalah perkara yang tidak akan bisa kamu hindarkan. Menakutkan? Tentu saja. Jangankan kamu, ibu pun merasakan hal yang sama. Ibu pun takut berbuat salah dan gagal membesarkanmu menjadi manusia yang baik. Tapi ibu bertekad bahwa ibu akan melakukan yang terbaik dan menolak menyerah. Nah, hal yang sama ibu harap bisa kamu tangkap. Sebanyak apapun salah yang kamu perbuat, asal kamu selalu mau memperbaiki dan berbuat yang lebih baik lagi, hapuslah sudah kesalahan tadi, berubah jadi pengalaman berharga untuk bekal hidupmu kelak.

Nak, laki-laki tangguh bukanlah laki-laki tanpa kelemahan. Laki-laki tangguh adalah laki-laki yang berani mengakui kelemahannya dan mengenali kekuatannya. Laki-laki tangguh adalah laki-laki yang tidak membuat dirinya tinggi dengan merendahkan orang lain, ia menjadi tinggi karena ia tak henti mendaki.

Tentu saja semakin tinggi mendaki, semakin berat medan yang kamu hadapi. Tapi ingatlah bahwa tidak ada yang tak mungkin terlampaui. Tuhan sendiri berkata, bahwa Ia tidak akan memberi ujian kecuali hamba-Nya mampu mengatasi.

Putra kesayangan ibu, Tuhan menunjuk laki-laki – dirimu – sebagai imam atau pemimpin, maka memimpinlah. Pemimpin adalah mereka yang tahu kemana melangkah, tahu bagaimana berperilaku, dan tahu bagaimana menyayangi dan menghargai. Kamu terlahir sebagai pelindung bagi pasanganmu, perempuan. Bukan, bukan karena laki-laki terlahir lebih kuat dan hebat, karena di zaman ibu sekarang saja sudah banyak perempuan yang tak kalah hebat dari laki-laki, apa lagi di zamanmu nanti. Laki-laki terlahir sebagai pelindung karena kasih sayang dan rasa hormat.

Rasul pernah berkata pada sahabatnya, saat ditanya mengenai keutamaan antara ibu dan ayah, bahwa ibu adalah lebih utama sehingga ia menyebutkannya hingga tiga kali sebelum menyebut ayah. Bukan semata-mata karena ibu yang melahirkan dan membesarkanmu, tapi karena perempuan memiliki keutamaan yang membuatnya berhak dihargai, dihormati, disayangi, dan dilindungi. Meskipun banyak perempuan lebih hebat dari laki-laki, tetap saja mereka perempuan, tak ada bedanya. Mereka tetap ciptaan Tuhan yang berhak mendapat keutamaan, penghargaan, dan perlindungan. Dari siapa? Dari laki-laki, darimu.

Pujaan hati ibu, jangan tertipu dengan iming-iming bahagia. Hidup di dunia ini sudah dibagi porsinya, suka, duka, luka, semua dijamin ada. Mustahil kamu hidup hanya dalam suka, atau merasa duka belaka, atau seumur hidup dirundung luka. Karena kamu hidup, kamu harus merasakan semuanya. Satu hal yang bisa kamu lakukan adalah bertahan dan tetap berjalan. Bagaimana caranya? Syukur dan ikhlas. Jika kamu selalu mensyukuri dan menerima dengan tulus apa yang terjadi, peduli duka, luka, atau suka, maka kamu akan tetap bisa bertahan, hingga akhir waktu Tuhan memanggilmu.

Belajarlah dari apapun yang terjadi padamu dan siapapun yang berada di sekelilingmu. Mereka semua itulah yang akan membentuk dan mendewasakanmu. Memberimu bekal menjadi laki-laki tangguh yang pantang menyerah.

Bolehkah laki-laki menangis? Boleh. Bagi ibu tangismu adalah wujud kemanusiaanmu. Air matamu adalah bukti kemampuanmu mengalahkan egomu. Saat kamu tak lagi merasa segan mengeluarkan air mata dan tampak lemah di depan seorang perempuan, maka kenalkan ia pada ibu. Kemungkinan besar, dialah yang diciptakan Tuhan sebagai rusukmu, yang terlahir menjadi penyeimbang hidupmu. Perempuan yang akan menjadi tanggung jawab dan wajib kamu hormati, sayangi, dan hargai, sepanjang hayatmu.

Anak lelakiku, tak ada satu pun yang pasti dalam hidup ini, tapi jangan ragu akan kasih sayang ibu yang  tanpa akhir akan selalu memelukmu, serta doa yang tak akan henti menyertaimu. Saat hidup terasa tak tertahankan, saat luka menguras air mata dan kewarasan, jangan pernah menyerah. Mengadulah pada Maha Pemilik Kekuatan, basuh tubuh dengan air wudhu, palingkah wajahmu pada-Nya, meminta.

Tahukah kamu, anakku, apa resep membuat nyaman di hati? Banyaklah memberi. Ibu bukan bicara harta, ibu bicara apapun yang kamu punya. Uang, ilmu, bahkan hal sesederhana senyum. Saat kamu memberi, maka bersiaplah menerima. Hukum hidup ini demikian sederhana, kok. Kamu menuai apa yang kamu tanam, menerima apa yang kamu berikan.

Setiap kali kamu memutuskan ingin berbuat sesuatu, berkacalah, lalu tanya pada dirimu, apakah yang kamu lakukan ini akan membuatmu bangga pada dirimu? Itu saja sebagai langkah awalmu mengambil keputusan bagaimana berlaku. Jadilah laki-laki yang tegas namun lembut hatinya, pintar namun sederhana perilakunya.

Ibu tidak akan banyak berpesan lagi padamu. Saat membaca surat ini tentu kamu sudah cukup dewasa, sehingga ibu sudah bisa percaya kamu bisa menjalani hidupmu sendiri. Meski demikian, jangan pernah lupa, ibu akan selalu ada untukmu kapanpun kamu merasa lelah dan ingin pulang.


Yang selalu mencintaimu,


               -ibu-   


Tuesday, September 16, 2014

More To Life

The feeling when people found your work amazing while you yourself didn't think it that way.
The feeling when people smiled, shook your hand, and genuinely said thank you.
The feeling when people got something meaningful from your hard work.
The feeling when people hugged you and looked relief knowing you're having his/ her back.
The feeling when people appreciated your hard work.

The feeling when you found yourself growing even more.
The feeling when you could pat yourself in the back and said, "you nailed it".
The feeling when you at last laughed at your troubles.
The feeling when you witnessed other people grow together with you.

Those are the feelings that I won't ever wanted to lose. 
The feeling of hope that accompany me living my life. 
One day, I will tell my children and grand children, there are more to life than money or any physical avails. 
One day, I will show to them that they can be rich with experiences, that courage and perseverance are powerful ammunition to get through almost anything in their life. 
One day, I will let them know that giving is actually gaining more rather than losing.
One day, when I die, I want people to remember me as the person that always did her best at anything she's doing, anytime. 


Sunday, August 31, 2014

Bahagia Itu Pasti, Kok!

Betul bahwa setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Tidak adil rasanya membandingkan hidup si A, si B, dan hidup kita sendiri. Iri sih sah-sah saja, asal tidak lantas membuat dengki dan gagal mensyukuri apa yang kita miliki.

Sulit memang meyakinkan diri bahwa seringkali bahagia itu sesungguhnya ada dalam hal-hal yang sederhana, sesederhana melihat wajah lucu seorang anak, walaupun bukan anak kita sendiri juga. Sesederhana melihat dan mendengar seorang sahabat mengucap ijab di sebuah akad pernikahan, yang mana bukan pernikahan kita juga. Sebenarnya jika kita tilik ulang setiap perjalanan yang sudah terlewatkan, bahagia itu selalu ada di sana. 

Hari ini saya bertemu kawan lama, berusia 30 tahun tapi belum menikah juga, berpacaran pun belum pernah seumur hidupnya. Apakah dia tidak bahagia? Tidak juga. Sebagian dirinya memang sulit menerima pertanyaan-pertanyaan basa-basi orang Indonesia yang seringkali inconsiderate, "Mana pacarnya?" atau "Kapan nikah?". Tapi dia pun tidak memungkiri bahwa dia bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal lain, selain pernikahan.

Ada yang bilang, kunci kebahagiaan adalah menurunkan level pengharapan. Teorinya, sedikit berharap artinya sedikit kecewa, sedikit kecewa artinya sedikit sedih, sedikit sedih artinya lebih banyak bahagia. Hmmm, tidak salah sih tapi tidak sematematis itu juga ya, sepertinya.

Untuk saya pribadi, kunci kebahagiaan itu tidak ada. Kalau ada dan ada yang bisa memberi tahu, sudah pasti semua manusia di muka bumi ini akan bahagia selamanya. Pada kenyataannya, tidak. Menurut saya, manusia dilahirkan bukan untuk bahagia, bukan untuk menderita juga. Manusia lahir untuk berusaha, ikhtiar sekaligus belajar. Suka atau duka itu efek samping dari ikhtiar dan belajar tadi. 

Kalau ikhtiar berhasil ya bahagia toh, kalau gagal ya sedih sebentar, jadikan pelajaran, lalu ikhtiar lagi, belajar lagi. Terus begitu siklusnya, tidak akan berhenti sampai kita mati. Itu sebabnya, rasanya terlalu naif menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan, karena dijadikan tujuan atau tidak, bahagia itu sudah pasti ada, kok. Sama pastinya dengan keberadaan lawan katanya, duka. Kadang-kadang kitanya yang tidak percaya atau salah mengartikan bahwa meraih bahagia itu sama dengan terhindar dari duka dan luka. Bahagia sesempurna itu mustahil di dunia, kalau mau ya, nanti di surga.

Meminjam kata-kata Seth Godin, dalam bukunya The Icarus Deception, kalau hidup ini adalah sebuah video game, tujuannya bukanlah untuk menang, melainkan untuk terus bermain, "The goal is to keep playing, not to win." Pasalnya, di setiap stage permainan, pasti ada kala kita menang, ada masa kita kalah juga, yang menentukan adalah kita, mau berhenti atau lanjut bermain. Kalau lanjut bermain, kita lanjutkan jalani hidup, ikhtiar dan belajar. Kalau berhenti bermain ya berarti mati. Tidak serumit itu kan, ternyata?

Monday, August 18, 2014

Cita-cita

"Nissa, nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?," tanya papa kala itu.
"Mau jadi Ibu Kartini," jawabku yang saat itu masih berusia 4 tahun.

Saat itu aku hanya berpikir, ingin memiliki nama yang harum dan mulia, seperti dalam lagu "Ibu Kita Kartini".

Waktu berjalan, aku beranjak besar. Papa tak pernah absen bertanya, "Nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?," entah karena serius ingin tahu atau mungkin senang saja mendengar jawaban polos dari gadis kecilnya. Semakin besar, jawabanku tak pernah sama. Dari ingin jadi Ibu Kartini, cita-citaku berubah jadi ingin menjadi astronot. Alasannya, karena menurut papa belum ada astronot perempuan, apalagi yang berasal dari Indonesia. Cerita papa rupanya mengobarkan semangat kompetisiku saat itu, maka aku bertekad ingin jadi astronot perempuan dari Indonesia.

Tak bertahan lama, cita-cita ingin jadi astronot pun berubah. Sempat ingin menjadi penyanyi, penulis, arsitek, psikolog, guru TK, copywriter, dan entah apalagi. Rasa-rasanya hanya satu cita-cita yang tidak pernah terucap dari mulutku, dokter. Alasan pertama, karena sudah terlalu umum, aku menolak menjadi bagian dari paham mainstream. Alasan kedua, karena aku takut melihat luka dan banyak darah. Alasan ketiga, karena orang tuaku memang tidak pernah mengelu-elukan profesi dokter seperti kebanyakan orang tua pada masa itu.

Seingatku, terakhir kali papa menanyakan cita-citaku adalah saat usiaku 17 tahun, saat duduk di kelas 2 SMA. Waktu itu, aku tak lagi ceplas-ceplos, saat menjawab. Sempat putar otak juga untuk menjawab pertanyaan papa kali ini, di tengah-tengah berpikir sambil memandang awang-awang, ada siaran berita di TV. Lalu aku bertanya pada papa, "Pap, kalau yang cari-cari berita terus bacain berita di TV itu, sekolahnya apa?".

"Oh, itu jurnalis namanya. Sekolahnya di ilmu komunikasi, jurusannya jurnalistik," jawab papa.
"Oke, Nissa mau jadi jurnalis aja," jawabku mantap.

Sejak saat itu, aku benar-benar fokus ingin masuk fakultas ilmu komunikasi, itu sebabnya aku lebih memilih masuk kelas IPS daripada IPA, saat kelas 3 SMA, walaupun sebenarnya nilaiku mencukupi untuk masuk IPA. Pikirku, untuk apa buang-buang waktu belajar ilmu eksakta, jika sebenarnya aku ingin mendalami ilmu sosial?

Satu-satunya fakultas ilmu komunikasi yang ada di Indonesia, adalah di Universitas Padjadjaran, dengan passing grade yang cukup tinggi. Terbukti dengan perbandingan 1:1000, artinya di antara 1000 pendaftar, hanya 1 yang lulus. Alhamdulillah, aku termasuk dari sedikit mahasiswa yang lulus. Tak aku sia-siakan, aku belajar sungguh-sungguh, menempatkan seluruh minat dan semangat untuk menjadi jurnalis handal. Modal awalnya, kesukaan menulis. Modal lainnya, nekat dan pantang menyerah. Jadilah!

Walaupun sesungguhnya sangat ingin menjadi wartawan perang yang dikirim ke daerah-daerah konflik, pada akhirnya aku cukup puas terdampar menjadi jurnalis di salah satu majalah arsitektur, di bawah naungan grup penerbitan terbesar di Indonesia, Kompas Gramedia Group. Justru dengan menjadi jurnalis di majalah ini, cita-citaku yang lain, menjadi arsitek, tersalurkan. Sedikit banyak aku jadi tahu teori padu padan warna dan corak, tata ruang, jenis-jenis material, dsb. Rupanya cita-cita menjadi jurnalis hanya berhenti sampai di sini, petualangan berikutnya bahkan lebih seru lagi.

Dua tahun menjadi jurnalis, nasib membawaku ke dunia advertising, lebih tepatnya digital advertising. Sebuah dunia yang tidak pernah terbayangkan akan kusentuh, sebelumnya. Di sini, lagi-lagi cita-cita masa remaja, menjadi copywriter, terwujudkan. Walaupun sesungguhnya menjadi copywriter hanya sambilan saja.

Tak dinyana, pekerjaan di dunia advertising adalah pekerjaan yang membawaku terbang lebih tinggi. Bertemu dan bekerja dengan orang-orang hebat yang tak pelit berbagi ilmu. Di sini, aku belajar lebih banyak soal cita-cita, mimpi, dan apa yang ingin aku capai dalam hidup. Aku tak terlalu peduli dengan karier, posisi, atau jabatan. Aku lebih peduli dengan mengembangkan dan mendewasakan diri, secara personal dan profesional.

Level pembelajaran pun semakin tinggi, saat aku didapuk untuk memimpin sebuah tim. Sungguh tak pernah terbayangkan, Anissa memimpin orang, apa jadinya? Singkat cerita, ternyata memimpin sebuah tim memberikan kenikmatan tersendiri. Menyaksikan orang berkembang dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak berani menjadi berani, dari pemalu jadi percaya diri.

Menjadi pimpinan sebuah tim, seperti menjadi ibu. Punya tanggung jawab membesarkan sekaligus melindungi anak-anaknya, membuat yang melelahkan terasa menyenangkan. Menuntut untuk memberi tanpa henti.

Suatu kali dalam sebuah sesi, di kantor, sekali lagi aku diperdengarkan dengan pertanyaan soal cita-cita, mimpi. Aku teringat pertanyaan papa, "Nissa, nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?". Kali ini sudah tidak perlu putar otak lagi, aku akan menjawab, "Nissa mau tumbuh terus jadi besar dan kuat, sambil memberikan apapun yang Nissa mampu berikan ke orang lain. Dan saat Nissa sudah besar dan kuat, Nissa harus bisa jadi tempat berteduh. Persis seperti pohon, makin tua, makin kokoh dan rindang. Selalu memberikan kesejukan dan setiap bagiannya memberi manfaat."

Maka berhentilah pengembaraan mencari cita-cita. Walaupun menjadi pohon terdengar absurd, tapi ini konsep yang cukup sederhana buatku. Sebuah cita-cita yang tak akan ada ujungnya, selama aku hidup, karena sesungguhnya tujuan hidup adalah terus melakukan sesuatu, bukan berhenti saat satu cita-cita terpenuhi.