Monday, August 18, 2014

Cita-cita

"Nissa, nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?," tanya papa kala itu.
"Mau jadi Ibu Kartini," jawabku yang saat itu masih berusia 4 tahun.

Saat itu aku hanya berpikir, ingin memiliki nama yang harum dan mulia, seperti dalam lagu "Ibu Kita Kartini".

Waktu berjalan, aku beranjak besar. Papa tak pernah absen bertanya, "Nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?," entah karena serius ingin tahu atau mungkin senang saja mendengar jawaban polos dari gadis kecilnya. Semakin besar, jawabanku tak pernah sama. Dari ingin jadi Ibu Kartini, cita-citaku berubah jadi ingin menjadi astronot. Alasannya, karena menurut papa belum ada astronot perempuan, apalagi yang berasal dari Indonesia. Cerita papa rupanya mengobarkan semangat kompetisiku saat itu, maka aku bertekad ingin jadi astronot perempuan dari Indonesia.

Tak bertahan lama, cita-cita ingin jadi astronot pun berubah. Sempat ingin menjadi penyanyi, penulis, arsitek, psikolog, guru TK, copywriter, dan entah apalagi. Rasa-rasanya hanya satu cita-cita yang tidak pernah terucap dari mulutku, dokter. Alasan pertama, karena sudah terlalu umum, aku menolak menjadi bagian dari paham mainstream. Alasan kedua, karena aku takut melihat luka dan banyak darah. Alasan ketiga, karena orang tuaku memang tidak pernah mengelu-elukan profesi dokter seperti kebanyakan orang tua pada masa itu.

Seingatku, terakhir kali papa menanyakan cita-citaku adalah saat usiaku 17 tahun, saat duduk di kelas 2 SMA. Waktu itu, aku tak lagi ceplas-ceplos, saat menjawab. Sempat putar otak juga untuk menjawab pertanyaan papa kali ini, di tengah-tengah berpikir sambil memandang awang-awang, ada siaran berita di TV. Lalu aku bertanya pada papa, "Pap, kalau yang cari-cari berita terus bacain berita di TV itu, sekolahnya apa?".

"Oh, itu jurnalis namanya. Sekolahnya di ilmu komunikasi, jurusannya jurnalistik," jawab papa.
"Oke, Nissa mau jadi jurnalis aja," jawabku mantap.

Sejak saat itu, aku benar-benar fokus ingin masuk fakultas ilmu komunikasi, itu sebabnya aku lebih memilih masuk kelas IPS daripada IPA, saat kelas 3 SMA, walaupun sebenarnya nilaiku mencukupi untuk masuk IPA. Pikirku, untuk apa buang-buang waktu belajar ilmu eksakta, jika sebenarnya aku ingin mendalami ilmu sosial?

Satu-satunya fakultas ilmu komunikasi yang ada di Indonesia, adalah di Universitas Padjadjaran, dengan passing grade yang cukup tinggi. Terbukti dengan perbandingan 1:1000, artinya di antara 1000 pendaftar, hanya 1 yang lulus. Alhamdulillah, aku termasuk dari sedikit mahasiswa yang lulus. Tak aku sia-siakan, aku belajar sungguh-sungguh, menempatkan seluruh minat dan semangat untuk menjadi jurnalis handal. Modal awalnya, kesukaan menulis. Modal lainnya, nekat dan pantang menyerah. Jadilah!

Walaupun sesungguhnya sangat ingin menjadi wartawan perang yang dikirim ke daerah-daerah konflik, pada akhirnya aku cukup puas terdampar menjadi jurnalis di salah satu majalah arsitektur, di bawah naungan grup penerbitan terbesar di Indonesia, Kompas Gramedia Group. Justru dengan menjadi jurnalis di majalah ini, cita-citaku yang lain, menjadi arsitek, tersalurkan. Sedikit banyak aku jadi tahu teori padu padan warna dan corak, tata ruang, jenis-jenis material, dsb. Rupanya cita-cita menjadi jurnalis hanya berhenti sampai di sini, petualangan berikutnya bahkan lebih seru lagi.

Dua tahun menjadi jurnalis, nasib membawaku ke dunia advertising, lebih tepatnya digital advertising. Sebuah dunia yang tidak pernah terbayangkan akan kusentuh, sebelumnya. Di sini, lagi-lagi cita-cita masa remaja, menjadi copywriter, terwujudkan. Walaupun sesungguhnya menjadi copywriter hanya sambilan saja.

Tak dinyana, pekerjaan di dunia advertising adalah pekerjaan yang membawaku terbang lebih tinggi. Bertemu dan bekerja dengan orang-orang hebat yang tak pelit berbagi ilmu. Di sini, aku belajar lebih banyak soal cita-cita, mimpi, dan apa yang ingin aku capai dalam hidup. Aku tak terlalu peduli dengan karier, posisi, atau jabatan. Aku lebih peduli dengan mengembangkan dan mendewasakan diri, secara personal dan profesional.

Level pembelajaran pun semakin tinggi, saat aku didapuk untuk memimpin sebuah tim. Sungguh tak pernah terbayangkan, Anissa memimpin orang, apa jadinya? Singkat cerita, ternyata memimpin sebuah tim memberikan kenikmatan tersendiri. Menyaksikan orang berkembang dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak berani menjadi berani, dari pemalu jadi percaya diri.

Menjadi pimpinan sebuah tim, seperti menjadi ibu. Punya tanggung jawab membesarkan sekaligus melindungi anak-anaknya, membuat yang melelahkan terasa menyenangkan. Menuntut untuk memberi tanpa henti.

Suatu kali dalam sebuah sesi, di kantor, sekali lagi aku diperdengarkan dengan pertanyaan soal cita-cita, mimpi. Aku teringat pertanyaan papa, "Nissa, nanti kalau sudah besar, mau jadi apa?". Kali ini sudah tidak perlu putar otak lagi, aku akan menjawab, "Nissa mau tumbuh terus jadi besar dan kuat, sambil memberikan apapun yang Nissa mampu berikan ke orang lain. Dan saat Nissa sudah besar dan kuat, Nissa harus bisa jadi tempat berteduh. Persis seperti pohon, makin tua, makin kokoh dan rindang. Selalu memberikan kesejukan dan setiap bagiannya memberi manfaat."

Maka berhentilah pengembaraan mencari cita-cita. Walaupun menjadi pohon terdengar absurd, tapi ini konsep yang cukup sederhana buatku. Sebuah cita-cita yang tak akan ada ujungnya, selama aku hidup, karena sesungguhnya tujuan hidup adalah terus melakukan sesuatu, bukan berhenti saat satu cita-cita terpenuhi.



No comments:

Post a Comment