Thursday, April 30, 2015

Kawan

Seorang kawan pernah berkata bijak, bahwa Tuhan mendesain manusia untuk menjalani aneka tantangan dan cobaan. "Jadi by default manusia itu memang tercipta untuk berjuang, sepanjang usianya, di dunia. Istirahat is not an option, kecuali nanti kalau sudah mati. Itu pun kalau lolos masuk surga," ujarnya.

Kawanku yang satu ini memang selalu tahu harus berkata apa, yang selalu berhasil pula membuatku, yang biasanya ngeyel, cuma bisa manggut-manggut mengamini. Malam itu, saat ia mengeluarkan petuah bijaknya itu, aku sedang dalam kondisi tak menentu. Kepala pening, karena masuk angin akibat terlambat makan. Hati remuk redam, karena siang harinya, setelah sidang ke sekian kalinya, akhirnya aku gagal membela klienku dan harus merelakan statusnya berubah dari tersangka menjadi terdakwa. Kaki pegal, karena terjebak dua jam dalam kemacetan ibu kota yang semakin tidak manusiawi. Pokoknya, aku benci pada dunia, hari itu.

Dalam keadaan dongkol dan mental drop, aku meneleponnya, "Aku mau ketemu sekarang. Aku pengen maraaaah banget!". Dia hanya menjawab singkat, "Oke."

Maka bertemulah kami di sebuah cafe, di rooftop sebuah gedung, di kawasan Kemang. Aku sampai lebih dulu dan memilih tempat duduk dengan view favorit, kerlip lampu dan barisan gedung-gedung tinggi. Dengan pemandangan seperti itu, aku bisa betah berjam-jam hanya melempar pandangan dan berkedip selaras dengan kedipan lampu, dan memang itulah yang tengah aku lakukan malam itu, ketika tiba-tiba terasa ada dua tangan meremas hangat kedua bahuku, "Hey, how was your day, ibu pengacara?," ujar si pemilik tangan, yang kemudian duduk di hadapanku.

Aku habiskan beberapa saat untuk memperhatikan dia yang ada di depan, sementara dia memilih menu untuk makan malam kami. Kulitnya sawo matang, perawakannya tak tinggi - walaupun lebih tinggi dariku, pipi sedikit tembem, dan berkaca mata, jauh dari tampan, deh, pokoknya. Dipikir-pikir, sudah bertahun-tahun kenal dekat, rasanya baru kali ini aku memperhatikan wajah dan tampilan si kawan ini.

"Heeeey, kok bengong? Katanya mau marah, mana? I'm all ears," katanya sambil melambai-lambaikan tangan, di depan wajahku.

Kalimatnya barusan bagai komando bagiku untuk menumpahkan semua hal - dari yang penting sekali, kurang penting, hingga yang sama sekali tak penting - padanya. Rasanya tak kurang dari tiga jam, aku bicara - sambil makan tentunya - dengan ragam emosi yang menyertai, hingga aku akhiri semua kisah dengan pernyataan, "Kenapa, sih, harus begini amat? Kadang-kadang aku capeeeeek banget!!".

Dia tersenyum, mengambil napas panjang, lalu menjawab tiga jam keluh kesah tadi dengan satu kalimat yang saya kutip di awal tulisan ini. Hening sesaat, sebelum akhirnya aku mengangkat bahu dan berkata, "Iya, sih."

Dia menanggapinya dengan tawa lepas, "Hahahahaha, baiklah. Aku tahu harimu berat, hari ini. Let's go home dan bongkar freezer, aku beli satu bucket es krim vanila kesukaanmu. Malam ini akan jadi malammu, let's eat ice cream and I'll company you to watch Sex and the City."

Kala lelah seperti inilah yang justru menjadi momen aku menyadari betapa istimewa sosok kawan yang tampaknya tak istimewa ini. Bersamanya aku tak perlu pura-pura, dia tak meremehkan sekalipun saat bersamanya, aku tak sekeren saat beradu argumentasi di ruang sidang, bahkan seringkali waktu bersamanya adalah waktu yang sarat dengan keluh kesah. Ia pun tak pernah menghakimi, saat aku gagal atau salah langkah.

Momen seperti ini pulalah yang membuatku tak pernah hilang kekaguman dengan kawan yang kukenal, sejak lima tahun lalu. Kawan yang tak hentinya memberikan rasa aman bagiku untuk jadi diri sendiri, jadi manusia biasa, di sisinya. Kawan yang bisa mengintip jiwa lewat bola mata. Kawan yang tak akan bisa habis kusyukuri karena dia selalu bisa jadi tempatku pulang. Kawan yang mengikat janji sehidup semati dan bertemu kembali di surga nanti.

(Ditulis dengan iringan lagu Pulang - Andien)

No comments:

Post a Comment